Cerita Dewasa: Tante Yully Ternyata Masih Bahenol | Cerita Dewasa terbaru
- "Man, nanti kamu ambil uang di ruangan saya, bawa saja dulu semuanya,
nanti kamu nego hutang orang tua Fenny, kalau tak cukup nanti hubungi
saya lagi...", Herman menelponku agar aku mengurus hutang-hutang orang
tua Fenny. Herman bilang, ayah Fenny menjual ibunya ke Bang Solihin
untuk menebus hutang-hutang mereka. Bang Solihin terkenal sebagai kepala
preman di daerah ini, ia juga yang membacking prostitusi yang ada di
belakang komplek rumah Fenny. Aku kemudian mengajak Mamat dan Syamsul,
karena mereka pernah dibawah pimpinan Bang Solihin.Uang di meja Herman
ternyata sekitar delapan puluh dua juta Rupiah, tumben sekali Herman
menyimpan dana tunai seperti ini. "Jam segini dia pasti ada di tempat
prostitusi itu", kata Mamat. "Orangnya agak susah diajak nego, mungkin
susah kita mau lepaskan jeratan hutang-hutang keluarga Fenny", sambung
Syamsul selagi kami dalam perjalanan menuju ke arah sana.
Aku
belum pernah memasuki daerah ini, dari luar cuma nampak seperti komplek
perumahan biasa, makin ke dalam malah semakin sepi, kiri kanan hanya
ada pohon seperti masuk ke dalam hutan, jalan pun rusak parah. Namun
sampai ke dalam ada plang tertulis 'Selamat datang di 1001 Malam'. Masuk
dari gerbang ini sudah terlihat ramai, kiri kanan penuh mobil dan motor
yang parkir, kemudian ada meja dan kursi tempat nongkrong orang-orang
di sini. Ku lirik kanan dan kiri, banyak sekali perek-perek yang
memandangi kami, bahkan banyak juga yang masih ABG. Ada beberapa orang
berpakaian loreng, entah mereka adalah anggota brimob yang membacking
atau hanya sekedar mengecek atau bermain-main di sini. Para pria hidung
belangpun menatapi kami, wajar, mungkin bagi mereka kami adalah orang
baru di sana, karena Mamat dan Syamsul pun sudah lama tidak mengikuti
Bang Solihin.
Di
dalam ada beberapa gedung, dan gedung yang paling besar itu adalah
tempat di mana Bang Solihin nongkrong. Kami pun turun coba berjalan ke
arah pintu yang dijaga beberapa orang berbadan kekar. "Mat, lama tak
tengok muka busuk kau...", teriak salah satu pria yang berjaga itu, ia
sepertinya kenal dekat dengan Mamat. Ternyata namanya Deni, teman Mamat
juga selagi dulu di bawah pimpinan Bang Solihin. Setelah berkenalan,
kamipun menjelaskan maksud kedatangan kami. "Hmm, kayaknya gue pernah
dengar kasus ini...", jelas Deni. "Ibunya Fenny sekarang bekerja di sini
sebagai wanita penghibur, namanya Yully...". Cukup tragis terdengar,
apalagi mendengar kelanjutan cerita Deni, "Suaminya Yulli telah
menjualnya ke Bang Solihin, terus suaminya sudah tidak di sini,
dengar-dengar sih kabur ke Bali... Hutangnya besar Mat, dengar-dengar
sampai miliaran Rupiah...". Mendengar itu aku sangat kaget, apalagi aku
hanya membawa puluhan juta Rupiah. "Dengar-dengar Fenny juga dijual ke
Bang Solihin...", lanjut Deni. "Apa bisa kami ketemu dengan ibunya
Fenny?", tanyaku. "Hmm, di sini tidak diperbolehkan bertemu tamu, kalau
mau kalian boking aja...", jawab Deni. Aku sebenarnya cuma mau minta
petunjuk ibunya Fenny, aku takut ketemu Bang Solihin yang semakin
membuat kacau keadaan, apalagi nanti kalau dia tahu keberadaan Fenny ada
di tempat kami. "Oke lah, kami bawa keluar...", balasku. "Ops, ga bisa
bro, cuma diperbolehkan main di sini... Ambil kamar saja, ga mahal kok,
tar untuk kalian gue kasih diskon, apalagi Mamat kawan gue...", jawab
Deni. Mau tidak mau aku menyetujuinya.
Sambil
menuntun kami ke arah kamar, Deni mengolok-ngolok kami, "Doyan
threesome juga bro? Hahaha...". Mamat hanya membalas, "Kayak gak tau
aja...". Kuperhatikan keadaan sekeliling, isi gedung ini seperti hotel,
ada sekat kamar di sepanjang lorong, kiri dan kanan, mungkin ada sekitar
puluhan kamar di gedung ini. Kondisi pun bersih terawat, seperti
hotel-hotel mewah pada umumnya. Ada beberapa gadis ABG berlalu lalang
ditemani pria hidung belang. Kami menuju ke lantai dua, tidak jauh dari
tangga, Deni membukakan pintu sebuah kamar.
Aku
dan Syamsul masuk duluan, sedangkan Mamat membereskan pembayaran
terlebih dahulu di depan kamar, seperti biasa, pengantar pasti minta
tips. Mamat dan Deni ngobrol cukup lama di depan pintu, aku
membiarkannya, anggap saja mereka sedang reuni. Di dalam kamar terdapat
ranjang besar, seorang wanita sedang duduk sambil nonton televisi.
"Yully?..." tanyaku padanya. "Iya, dua orang ya?", tanya wanita itu.
Saat ia menoleh ke arahku, aku cukup kaget, dia seorang wanita yang
cantik, wajah orientalnya sangat manis, tubuhnya masih seksi walaupun
umurnya mungkin sudah menginjak kepala tiga. "Kami mau berbibcang
sebentar...", kataku sambil mendekatinya. "Oops, kalian kalau mau
wawancara, minta ijin sama bos saja dulu...", jawabnya yang kesal
mengira kami adalah reporter. "Gini... Kami mau tanya...", belum sempat
menyelesaikan pembicaraan, tante Yully langsung memotong, "Maaf, saya
bekerja sesuai perintah atasan!", hardiknya. "Baiklah...", jawab Syamsul
yang juga terlihat kesal, ia langsung membuka resletingnya. Padahal
kami ke sini untuk maksud baik, dijawab seperti itu tentunya Syamsul
cukup naik pitam.
Tante
Yully langsung membuka laci meja yang ada di samping ranjang, ia
mengeluarkan dua buah kondom lalu membukanya. Syamsul segera
menanggalkan seluruh pakaiannya, lalu mendekati tante Yully. Penisnya
diarahkan ke wajah tante Yully agar tante Yully segera memakaikan kondom
tersebut. Setelah itu tante Yully langsung mengulum penis Syamsul yang
telah dibungkus kondom bercita rasa pisang. Di sini memang sangat
terjaga akan keamanannya, tidak boleh ada yang tidak memakai kondom.
Makanan dan minuman pun dilarang bawa dari luar, bahkan rokok sekalipun.
Seminggu sekali para wanita penghibur di sini juga dicek kesehatannya,
bila ada yang terjangkit penyakit HIV AIDS maka akan segera diungsikan
ke panti rehabilitasi.
Melihat
aksi tante Yully mengulum penis Syamsul seperti menikmati eskrim
calpico yang nikmat, penisku pun terasa mengeras. Aku juga tidak
memikirkan tujuan kedatangan kami lagi, segera aku juga membuka
pakaianku hingga telanjang bulat. Ku dekati tante Yully dan ku pretel
habis pakaian tante Yully. Susunya besar dan motok, segera kuremas-remas
dengan penuh nafsu. Setelah puas dikulum, Syamsul ingin merasakan
goyangan tante Yully, ia segera membaringkan tubuh tante Yully dan
menusukkan penisnya langsung ke vagina tante Yully. Karena sibuk
melayani Syamsul, aku yakin tante Yully tidak sempat memakaikan kondom
ke penisku, jadi terpaksa aku memakaikannya sendiri. 'Wah, dapat rasa
strawberry nih', pikirku dalam hati melihat bungkus kondom yang barusan
ku sobek. Aku sudah tak sabar ingin merasakan kuluman tante Yully. Ku
arahkan penisku ke mulut tante Yully yang terbaring di atas ranjang. Dua
lubang dibantai sekaligus, sepertinya tante Yully sudah sangat
terlatih.
Kata
orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, hmm, ternyata benar,
kecantikan Fenny dan tante Yully sudah bagaikan pinang dibelah dua. Anak
dan ibu sangat cantik hingga menggoda nafsu. "Oh yes...", desahku
kenikmatan merasakan penisku yang semakin hangat di dalam mulut tante
Yully. Tante Yully pun sepertinya sangat menikmati penisku, hahaha,
benar-benar dicicipi seperti permen lolipop rasa strawberry. "Ini rasa
kesukaanku...", kata tante Yully menyempatkan bicara disela menyepong.
Tubuhnya
bergoncang karena tusukan Syamsul yang bersemangat, susunya kuremas,
cukup besar hingga tanganku hampir tidak menutupinya. Matanya hanya
meram melek menikmati goyangan. Aku sebenarnya kurang tega, karena
anaknya, Fenny sudah bergabung dengan kami, tapi kapan lagi dapat
kesempatan seperti ini?
Hampir
setengah jam kami bercinta two in one, Mamat pun belum kunjung masuk
menyusul. Aku pun sudah bergantian posisi dengan Syamsul. Walau tante
Yully sudah berumur, tapi vaginanya masih seret, hanya karena becek
membuat aku lebih mudah melesapkan penisku ke lubang vaginanya. Ku peluk
tubuh tante Yully hingga dadaku menyentuh erat dengan susunya, ku
goyang terus di atas ranjang, sedangkan Syamsul sedang istirahat, ia
menyalakan rokok dan duduk sambil memilih siaran televisi.
Cukup
lama aku menikmati tubuh tante Yully, hingga aku pun berejakulasi. Ku
tarik penisku yang penuh dengab sperma terbalut kondom. Tante Yully
kemudian terkapar karena cukup lelah. Aku pun meninggalkannya untuk
membersihkan penisku di kamar mandi. Dalam kamar mandi ku dengar Syamsul
dan tante Yully sedang berbincang-bincang, Syamsul pasti menceritakan
maksud kedatangan kami. Aku pun keluar dari kamar mandi, walaupun kami
bertiga masih dalam keadaan bugil, tapi kami tidak sungkan untuk saling
berkenalan.
Tante
Yully langsung meneteskan air mata setelah mendengar kabar dari kami.
"Fenny yang malang...", kata tante Yully. "Bapaknya yang penjudi itu
telah menjual kami ke bang Solihin, untungnya Fenny bisa kabur...",
sambung tante Yully. "Tante sudah nyicil hutang-hutang bapaknya Fenny,
tidak banyak lagi, semoga tante bisa keluar dari tempat ini dan segera
bertemu dengan Fenny...", kata tante Yully yang membuatku menjadi
sedikit iba. Ia benar-benar merindukan anaknya, air matanya bercucuran
hingga membasahi pipinya. "Tenang saja, Fenny baik-baik saja, dia juga
rindu kok sama tante...", aku berusaha membujuknya agar tidak menangis
lagi. Lalu kucari celanaku untuk mengambil uang, "Emangnya sisa
hutangnya berapa?", aku bertanya kembali.
"Tinggal
seratus juta, tapi bang Solihin sangat kejam, ia pasti menghitung
bunganya juga...", jawab tante Yully semakin sedih. 'Waduh, uang yang ku
bawa tidak lah cukup', pikirku dalam hati.
Aku
pun menjelakannya kepada tante Yully agar dia tenang, karena aku akan
menghubungi Herman untuk membawa sisanya. "Telp boss lah Syam...", aku
memerintahkan Syamsul. Ia lalu berdiri dan mencari handphone nya yang
tertinggal di saku celana.
Belum
sempat mendapati handphone, pintu pun terbuka. Mamat masuk beserta
seorang pria besar dengan tegap dan berwajah garang. "Man, nih bang
Solihin...", Mamat memperkenalkanku dengan pria berwajah garang itu.
"Boss...", sapa tante Yully kepada pria itu. Aku pun kemudian berjabat
tangan dengannya, pria besar itu adalah pimpinan di sini, wajahnya
terdapat goresan, membuatku sedikit takut melihatnya. "Oke, Mamat sudah
menjelaskan kedatangan kalian... Kalau tidak memandang Mamat, aku tak
akan lepaskan wanita ini...", kata bang Solihin. Mungkin Mamat sudah
banyak berjasa padanya. "Kalian bawa saja wanita ini...", katanya.
"Terima kasih bang...", kami mengucapkan terima kasih padanya.
Pria
besar itu pun pergi dari kamar sambil berkata, "tapi main-nya ga gratis
ya...". Kami pun tertawa sambil menjawab, "Iya bang, kami tambah
waktu... Tar kami bayar...", jawab kami. Tante Yully kegirangan lalu
memelukku yang berada paling dekat dengannya. "Thanks...", bisiknya di
dekat telingaku. Mamat yang tadi tidak sempat menikmati tante Yully pun
segera menanggalkan pakaiannya. "Ini ga gratis loh, bang Solihin minta
bantu menemukan keberadaan bapaknya Fenny...", kata Mamat.
Ternyata
sedari tadi Mamat bernegosiasi dengan bang Solihin. "Tenang aja bro,
itu sudah kerjaan kita dari dulu...", lanjut Syamsul. "Sebagai tanta
terima kasih, aku akan melayani kalian seumur hidup...", kata tante
Yully yang kemudian kembali membagikan kami kondom. Hahaha, ronde
selanjutnya nih.
Aku dan Syamsul
membiarkan Mamat beraksi sendiri terlebih dahulu. Tante Yully melayani
Mamat dengan sangat semangat, tanpa kenal lelah. Ini kesempatan kami,
karena kalau sudah kembali ke tempat kami, Herman lah yang berkuasa.
Mamat menyetubuhi tante Yully dengan nafsu selayak suami istri,
permainan cinta yang kemudian mengundang nafsu birahi kami. Hatiku
kembali berkecamuk, jantungku berdegup kencang, dan penisku mulai
kembali menegang. "Napa man? Mau lanjut?", tanya Syamsul yang sedang
duduk di sampingku. "Hahaha, kayak bro ga nafsu aja...", balasku yang
kembali menghisap rokok dan mencari channel tv yang enak ditonton.
Syamsul juga kelihatan kembali bergairah, malu menjawab pernyataanku
tadi, ia hanya memainkan penisnya yang kembali mengeras.
Mamat
memeluk tante Yully dengan erat, dilumatnya bibir tante Yully sambil
menggoyangkan pinggulnya untuk mengocok vagina tante Yully dengan
penisnya. "Enakk...", rintihan tante Yully yang benar-benar jelas
terdengar.
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan pintu, aku pun bangkit dan coba melihat apa
yang terjadi. "Ada apa?", tanyaku melihat Deni di depan pintu. "Jangan
lama mas, takut boss berubah pikiran...", kata Deni yang sedari tadi
juga mengawasi gelagat bang Solihin. "Kalau ga mandang Mamat, gue sih ga
bakal kasih saran...", lanjut Deni. "Iya bro, ne lagi tungguin
Mamat...", jawabku. Benar juga pikirku dalam hati, bang Solihin sudah
memberi kemudahan, kalau ia berubah pikiran, bisa-bisa kami tidak
diperbolehkan keluar dari sini.
Aku
pun kembali masuk dan mengenakan kembali pakaianku. "Mau ke mana man?
Belum ronde dua nih...", tanya Syamsul. "Kita mesti cepat tinggalin
tempat ini bro, sebelum bang Solihin berubah pikiran...", jawabku sambil
mengemas semuanya. Mendengar itu, Syamsul juga segera memakai kembali
pakaiannya. Kami hanya menunggu Mamat dan tante Yully menyelesaikan
acara mereka.
Tidak
lama, mereka sudah terkapar, Mamat dan tante Yully sudah menyelesaikan
permainan cinta mereka dan mencapai orgasme. Aku pun meminta mereka
segera bergegas untuk meninggalkan tempat ini. Tanpa menunggu lama, kami
pun keluar, tak berani berpamitan dengan bang Solihin, kami hanya
keluar dengan diantar oleh Deni sampai ke parkiran. "Thanks bro..",
salam Mamat sambil berjabat tangan dengan Deni. "Sip, kapan-kapan kita
ngumpul lagi...", balas Deni.
Aman
pikirku, kami pun keluar dari tempat itu. Aku menyupir dan Mamat duduk
di sampingku, sedangkan Syamsul dan tante Yully duduk di belakang.
Ternyata di sepanjang perjalanan, Syamsul melanjutkan percintaannya
dengan tante Yully. Ia membuka resleting celananya dan mengeluarkan
penisnya yang sudah mengerah. Tante Yully pun mulai mengocoknya, mereka
tidak takut dengan pandangan dari luar, karena jendela mobil menggunakan
kaca film, sehingga sulit melihat jelas ke dalam mobil dari arah luar.
Tante Yully sudah profesional, ia mulai menundukkan kepalanya untuk
menyepong penis Syamsul. Sialan pikirku, tahu gini aku milih duduk di
belakang saja deh. Sedikit iri juga karena permainan mereka hanya
membuat penisku terangsang tanpa pelampiasan.
Akhirnya
sampai juga di tempat usaha Herman, sedangkan Mamat dan tante Yully
sudah menyudahi aktivitas mereka. Kami segera naik ke lantai tiga,
tempat biasanya kami berkumpul. "Mamaaaa.....", teriak Fenny ketika
melihat kami tiba bersama ibunya. "Sudah beres?", tanya Herman padaku.
"Sip dah...", jawabku. Reuni antara ibu dan anakpun berlangsung beberapa
saat, setelah itu kami pun saling berkenalan. Hmm, nambah anggota lagi
nih tempat kami. "Oke, nanti malam kita buat pesta...", kata Herman
membuat seluruh orang di sini bersorak gembira.