Cerita Dewasa: Antara Kejutan Dan Polwan
Cerita Dewasa: Antara Kejutan Dan Polwan | Cerita Dewasa
- Herman belum pulang dari liburannya di Singapura, sehingga terpaksa
aku dan Tono yang menjaga usaha pijat plus-plusnya ini. Teman yang lain
sedang sibuk dengan kegiatan mereka, hanya aku dan Tono yang menjadi
orang kepercayaan Herman. Oya, namaku Satorman, aku sudah sering
menceritakan kisahku dan kisah teman-temanku. Kali ini, aku, Tono, dan
empat gadis teman kami yang standby di tempat ini, tempat pijit
plus-plus yang masih sepi hingga hari ini. Hanya penambahan anggota baru
dua hari yang lalu. Namanya Fenny, gadis keturunan yang cantik,
melebihi tiga teman gadis kami yang pribumi. Entah dasar apa yang
menyebabkannya mau bekerja di sini, yang jelas aku menduga adalah
himpitan ekonomi. Tapi lambat laun aku juga bisa mengorek informasi
mengenai alasannya.
Fenny,
Ayu, Lisa dan Widya menunggu di bawah, siapa tahu ada konsumen yang
masuk. Sedangkan aku dan Tono sedang asyik main playstation tiga yang
baru saja kubeli dan ku simpan di kamarku. Sejak ikut Herman, aku tidak
terlilit hutang lagi, bahkan aku tidak sulit mendapatkan uang, karena
Herman selalu memberikan uang kepada kami, walaupun usaha sepi, dia
tetap membayar gaji kami. Jam sudah menunjukkan pukul 22:00, tiba-tiba
aku mendengar dering telepon, "Iya, ada apa?" tanyaku ketika mengangkat
telepon di meja yang tersambung dengan telepon lantai bawah. "Ada
masalah, turun bentarlah, ada polisi nih..." kata Ayu yang menelepon
dari lantai bawah. Aku pun kaget mendengar ada polisi yang datang, apa
ini razia? Aku segera ajak Tono untuk menuju ke bawah. "Gawat nich,
semua suratkan ada sama Herman..." kata Tono.
Asli
lebih terkejut lagi ketika kami sampai di bawah dengan apa yang kami
lihat? Ada tiga polwan muda dan cantik sedang berbicara dengan Ayu dan
yang lainnya. "Selamat malam pak!" sapa salah satu polwan ketika melihat
kami. Wajahnya cantik sekali, rambutnya pendek dan postor tubuhnya
seperti model, kulihat diseragamnya tertera namanya Felicia. Sedangkan
dua polwan lainnya sedang berbicara sambil melirik-lirik kondisi tempat
usaha kami. Mereka sepertinya baru, karena kulihat umur mereka mungkin
baru menginjak 20 atau lewat sedikit. "Iya, selamat malam, ada yang bisa
kami bantu?" jawab Tono dengan sopan. "Maaf, ini kunjungan mendadak,
kami mau lihat surat-surat pendirian usaha ini" kata polwan tersebut.
Tono langsung terlihat pucat, seperti yang kami khawatirkan, usaha gelap
ini sangat riskan. "Hmm, bos kita lagi tidak ada di tempat bu, surat
menyuratnya ada sama beliau, kalau ibu mau, nanti kalau beliau sudah
pulang, kita laporkan lagi?" kata Tono. "Kami mau lihat sekarang juga,
masa buka usaha tanpa ijin?" sindir polwan lainnya yang tadinya sedang
berbicara dengan Ayu, muka polwan tersebut terlihat judes sekali. "Oh,
tunggu..." kata Tono. Lalu Tono mendekatiku dan berbisik padaku, "Mereka
kayaknya minta jatah... Ambilin tiga juta lah buat mereka..." Mungkin
juga mereka minta uang pelicin, jadi aku naik ke atas kembali ke kamar
ku untuk mengambil sejumlah uang.
Samapi
kembali di bawah, aku langsung menyodorkannya ke Felicia, polwan yang
tadinya berbicara dengab kami. "Loh, apa ini maksudnya?" tanya polwan
itu. "Kalian bermaksud menyogok kami?" tanya nya lagi. Kami semua
terdiam melihat ketiga polwan itu sedikit marah. "Ayo ikut kami ke
kantor polisi!" perintah Felicia. "Tapi?..." jawab Tono. "Berikan waktu
agar kami bisa menelpon bos kami dulu..." pinta Tono. "Kau dan kau
ikut!" perintah polwan itu sambil menunjuk kami berdua. "Tutup saja yu,
nanti Ayu coba telpon bos Herman..." pesan Tono ke Ayu, dan kami pun
digiring keluar. Kami disuruh naik ke mobil polisi yang dengan bak
terbuka. Sial sekali, kami diperlakukan seperti penjahat, kami disuruh
duduk di belakang dan dijaga dua polwan, sedangkan Felicia yang
mengendarai mobil.
Untungnya
sudah agak malam sehingga jalanan sedikit sepi, dan kami pun melewati
jalan yang dikelilingi hutan, karena kantor polisi terletak agak jauh.
Aku lihat raut wajah Tono sangat kesal, aku paham, kami malu sekali
diperlakukan begini, andai Herman ada di tempat, tentunya dia tak akan
membiarkan kami begini.
Sesampai
di kantor polisi, kami pun disuruh turun dan menemui atasan mereka.
Seorang pria gemuk besar dengan kumis tebal duduk santai di sebuah
ruangan, sepertinya dia lah atasan di sini. Saat masuk, pria yang
merupakan kapolsek daerah sini hanya tersenyum-senyum mendengar
penjelasan polwan-polwan tersebut. Tak lama dari itu aku melihat pria
berkumis tebal itu ditelpon seseorang, dan saat dia menutup telponnya,
dia pun menyuruh kami pulang. Kini giliran polwan itu yang protes, "Tapi
pak?..." sepertinya polwan tersebut tidak terima dengan keputusan
polisi pria itu. "Antar mereka pulang, perlakukan mereka dengab baik..."
itu saja yang dikatakan polisi pria tersebut tanpa mau berbicara
panjang lagi.
Aku
dan Tono baru merasa lega, kami pun kembali naik ke mobil itu layaknya
penjahat, kami kembali harus dibawa di belakang. Sebelum naik,
sepertinya Tono mendapatkan sms dari seseorang, setelah membacanya dia
pun menunjukkannya padaku. Itu adalah sms dari Ayu yang berisi: 'Gw uda
telp bos, nti tmn2 lain ada kejutan'. Sms yang sangat singkat, aku pun
tidak tahu apa maksudnya.
Mobilpun
mulai bergerak ketika kami naik. Masih tiga polwan tersebut yang
menemani kami. Entah sial apa, pas sampai di tengah hutan yang harus
kami lalui, tiba-tiba ban mobil bocor. "Waduh, mana gelap lagi nih...
Tak bawa ban serap..." kata Felicia yang keluar dari mobilnya. Kami pun
turun dari bak mobil, "Sial, siapa yang nebar paku begitu banyak?" kata
Felicia setelah mengecek ban mobilnya. Sepertinya ada yang menaruh
ranjau paku di sepanjang jalan ini. Apa ini kejutan yang dimaksud Ayu?
Soalnya siapa yang iseng menebar ranjau paku di sini? Tidak ada bengkel
dekat sini, paling-paling perampok saja yang melakukan hal seperti ini
di tempat sepi tengah hutan begini. "Tunggu di sini, kita cari
tumpangan", kata Felicia memandang ke ujung jalan yang gelap. Hanya
terang bulan dan cahaya lampu dari mobil yang menyinari sekitar. Dan
dari ujung jalan terlihat ada sinar, ada mobil yang menuju ke sini,
Felicia pun maju berdiri di tengah jalan untuk menghadang mobil itu.
"Wah,
mogok ya?" tanya seseorang yang menggunakan topeng dalam mobil tersebut
ketika dihentikan Felicia. Tak sempat bertindak, tiba-tiba dengan
secepat kilat, beberapa orang bertopeng turun dari mobil itu dan
menyergap tiga polwan tersebut. Mungkin ada sekitar tujuh pria bertopeng
yang langsung melumpuhkan tiga polwan tersebut. Para polwan itu tak
bisa melawan karena kalah jumlah. "Ayo ikut!" pria bertopeng itu
langsung menyeret tiga polwan tersebut masuk ke dalam hutan. Aku dan
Tono tidak bisa berbuat apa-apa, kejadiannya sungguh cepat, kami tak
mungkin melawan, karena mereka membawa senjata tajam. Kami semua
digiring masuk hutan, apa selanjutnya yang akan terjadi? Aku takut
kawanan penjahat ini akan membunuh kami semua.
Sampailah
kami di tanah yang sedikit lapang, ku hitung jumlah mereka... satu...
dua... tiga... semua ada tujuh orang. Pria misterius bercadar itu
sepertinya sangat brutal, mereka mengacungkan senjata mereka di hadapan
kami. Aku, Tono, dan tiga polwan itu tak bisa berkutik, kami disuruh
berlutut dengan tangan di kepala. Salah satu pria tersebut kemudian
mendekati kami, kemudian menarik satu polwan ke depan. Empat pria lain
menjaga kami agar tidak berontak, sedangkan tiga lainnya seperti akan
melakukan terhadap polwan itu. "Cantik juga ya polwan ini..." ejek pria
tadi yang menariknya, kemudian berdiri di depannya dan mengangkat dagu
polwan tersebut. "Hmm, Eka..." pria itu membaca nama yang tertera di
seragam polwan tersebut.
Dari
barisan kami tampak Felicia berusaha melawan, tapi ia ditendang dari
belakang oleh pria yang mengawasi kami, hingga ia tersungkur dan
kesakitan. Sedangkan di depan kami, hanya bisa melihat aksi pria
bercadar mengerjai polwan yang disebut bernama Eka tersebut. Aku lihat
dengan jelas, walaupun penerangan hanya menggunakan senter dan
mengharapkan sinar rembulan, pria bercadar yang menarik Eka tersebut
memeluk Eka dan melumat bibirnya. Sedangkan dua lainnya hanya tertawa
terbahak-bahak, dan empat lainnya masih mengawasai kami dari jarak yang
sangat dekat. Felicia masih kesakitan akibat tendangan tadi, tapi dia
sudah kembali ke posisi awal, berlutut dengan tangan di atas kepala.
Aku
juga tidak ada niat untuk menolong para polwan tersebut, karena aku
juga sudah terlanjur kesal dengan perlakuan mereka. Bahkan aku berharap
para pria tak dikenal itu melakukan aksi yang lebih lanjut. Ternyata
yang ku mau menjadi nyata, pria bercadar yang tadi melumat bibir polwan
yang bernama Eka itu mendorong tubuh Eka hingga jatuh. "Beraninya
menolak ciumanku?!" pria tersebut terlihat marah sekali. Eka lalu
ditendang bagian perut hingga termuntah-muntah, kami hanya bisa diam,
Felicia sepertinya agak geram melihat adegan ini. Polwan bernama Felicia
kemudian kembali bangkit dan menantang mereka, "Kalau berani, ayo satu
lawan satu!" ajak Felicia. "Hahaha, yang benar saja? Satu lawan satu?"
para pria tersebut tertawa terbahak-bahak. "Apa kalian menangkap kami,
para penjahat, juga ada pakai peraturan satu lawan satu? Kalian juga
gerombolan, bahkan membawa senjata api..." kata pria bercadar yang tadi
menendang Eka. Mereka juga sepertinya memiliki dendam yang besar
terhadap polwan ini.
"Akh!...."
teriakan Felicia yang ditendang dari belakang hingga terseret ke arah
Eka. "Bagusnya dibunuh atau bagaimana?" tanya pria tadi pada
kawan-kawannya. "Jangan dulu, sayang sekali kalau tidak dicicipi..."
jawab temannya yang lain. "Hmm... Betul juga, kecantikan mereka
seharusnya berguna..." Para pria yang menjaga kami mendekat ke arah kami
dan menodongkan senjata mereka ke leher kami. Aku, Tono dan satu polwan
lagi yang tidak tahu bakal diapakan oleh mereka. Kemudian pria yang
menendang Eka mendekati Eka dan Felicia, "Turuti permintaan kami, atau
mereka MATI!!!" ancam pria tersebut. Nampak Felicia hanya bisa melotot
kesal ke arah pria tersebut. Pria tersebut kemudian membuka resleting
celana jeans nya, dan penis besar yang sudah mengeras pun tersembul
keluar. "Ayo, kulum!" perintah pria itu. Karena Felicia mengkhawatirkan
keselamatan kami, ia pun terpaksa mengulum penis pria itu. Pria itu
menjambak rambutnya agar Felicia lebih agresif, karena tadinya Felicia
sedikit takut untuk menyentuhkan bibirnya ke penis pria tersebut. Sama
halnya dengan Eka, dia juga dipaksa untuk mengulum penis pria bercadar
lainnya. Felicia dan Eka tidak bisa melawan, karena nyawa kami kini
tergantung dengan mereka.
Melihat
dua polwan tersebut memberikan pelayanan begitu kepada dua pria
bercadar itu, membuat penisku mengeras. Nafsu ku naik hingga tak
tertahan, ingin sekali aku mengocok penisku sambil melihat adegan ini.
Sungguh malang nasib mereka, rambut mereka yang hanya sebatas bahu
dijambak untuk mengatur irama. Sedangkan polwan satunya yang berlutut di
dekat kami terlihat menangis, dia tak sanggup melihat yang sedang
terjadi. Hmm, cantik juga, yang satu ini nganggur, andai saja dia
men-service ku, hahaha, harapku dalam hati. Ku pandangi seragamnya yang
ketat, susunya terlihat agak besar, dan namanya Olivia tertera di
seragam, terlihat jelas akibat lekukan dadanya yang membusung ke depan.
Ku pandangi teman sebelahku ini, Tono, ia terlihat menikmati adegan
tersebut, ia menonton tanpa mengedipkan mata, bahkan sesekali ia seperti
menelan ludah.
Dua
pria tersebut terus menggenjot mulut dua polwan itu, dua lainnya di
dekat menunggu giliran, sedangkan tiga lainnya sedang mengawasi kami.
Setengah jam ada penis mereka dikocok dengan mulut polwan itu dan
akhirnya mereka menyemburkan sperma juga. "Ayo ditelan!" perintah salah
satu pria yang dikulum penisnya itu. Awalnya Felicia mencobq
memuntahkannya, namun pria yang dikulum penisnya itu menampar pipi
Felicia dengan kuat 'Plak!' "Mau lihat temanmu mati?" ancam pria
tersebut. Sehingg Eka dan Felicia sangat dengan terpaksa menelan semua
sperma yang disemprotkan ke dalam mulut mereka. Setelah itu selesai, dua
pria itu pun berpindah, mereka memberikan tempat untuk dua pria lain
yang sudah dari tadi menunggu giliran. Dua pria itu berdiri di depan Eka
dan Felicia. "Kami belum mau dikulum, tapi mau mengenyot..." kata salah
satu pria tersebut. Felicia dan Eka sangat kaget mendengar permintaan
pria tersebut.
Mendengar
itu, Olivia yang berlutut dekat kami pun bersuara, "Jangan... Tolong
lepaskan mereka..." Tapi bukan mendengar permohonan Olivia, salah satu
pria yang mengawasi kami pun langsung menjambak rambut Olivia, "Lu mau
ikutan mereka?!" kata pria tersebut. Olivia pun menangis dengan kencang.
"Jangan... Biar saya saja..." kata Felicia yang dengan perlahan membuka
kancing bajunya. "Loh, polwan yang satu ini mau lihat temannya mati?"
tanya satu pria melihat ke arah Eka yang sedari tadi hanya terdiam saja.
Takut dengan ancaman pria tersebut, Eka pun mengikuti apa yang
dilakukan Felicia. Kedua polwan tersebut pun membuka seragam mereka, ku
lihat bra warna putih mereka menutupi buah dada mereka yang bulat
sempurna, tidak besar juga tidak kecil. "Ah, lama!" pria satu terlihat
komplain, sehingga Felicia dan Eka pun terpaksa mempercepat membuka bra
mereka. Penisku sedari tadi sudah ngaceng bukan main, apalagi melihat
susu yang mengacung ke depan, bulat sempurna, baru kali ini aku melihat
tubuh indah polwan. Dua pria yang tadi di depan Felicia dan Eka langsung
dengan bringas melumat buah dada yang indah itu. Mereka seperti
kesetanan, mengenyot buah dada itu, memeras, menampar, menggigit dan
memainkannya. Puting yang kecil dan merah mudah dua polwan tersebut
dipilin-pilin dengan jari, bahkan sesekali ditarik-tarik. Felicia dan
Eka sepertinya menangis, mata mereka terlihat berbinar, mereka pasti
malu diperlakukan seperti itu.
Olivia
tak mampu melihatnya, dari tadi dia hanya memalingkan wajahnya, sedang
Tono sedari tadi tidak mau melewatkan adegan ini. Aku sebenarnya iri
sekali tidak bisa menikmati tubuh polwan tersebut. Setelah bosan
menikmati payudara segar milik polwan, kedua pria itu meminta dua polwan
itu mengulum penis mereka. Sedangkan dua pria yang tadi dikulum
penisnya mendekati kami, "Tunggu di sana saja biar dapat giliran..."
mereka meminta tiga pria yang mengawasi kami mendekat ke Felicia dan Eka
untuk antri menunggu giliran. "Ga sabar ne bos, pengen disepong polwan
juga ne..." kata salah satu pria yang menuju ke arah Felicia dan Eka, ia
terlihat senyum kegirangan.
Felicia
dan Eka kembali sibuk dengan mengulangi tugasnya tadi, mereka harus
mengulum penis kedua pria bercadar itu. Tiga lainnya sudah tak sabar
menunggu giliran, antrian belum sampai saja tiga-tiganya sudah membuka
resleting celana jeans mereka dan mengeluarkan penis mereka yang sudah
ngaceng.
Seperti halnya tadi,
Felicia dan Eka kembali disuruh untuk menelan habis sperma yang telah
mereka semprotkan ke dalam mulut Felicia dan Eka. Tiga pria yang tadi
antri terlihat berebutan, karena cuma dua polwan saja yang sedang
bertugas, terpaksa satu pria harus mengalah. Dua pria kembali meminta
Felicia dan Eka mengulum penis mereka. Satu pria yang tadi mengalah
hanya bisa memainkan penisnya sendiri, "Ga apa-apa, nanti saya minta
diservice dua polwan sekaligus deh..." katanya yang terlihat malu karena
kalah dari perebutan. Kembali lagi Felicia dan Eka harus menelan habis
sperma dua pria selanjutnya tadi. Mereka terlihat mau muntah,
masing-masing telah menelan sperma dari tiga orang pria. Akhirnya pria
yang tadi kalah dari perebutan pun maju, ia nampak sangat senang,
walaupun giliran terakhir, namun ia lebih spesial karena bisa dilayani
dua polwan sekaligus.
"Kalian
pasti sudah eneg ya minum sperma?" ejek pria tersebut. "Kalau kalian
tidak mau minum sperma lagi... Menarilah untukku..." minta pria
tersebut. Dua polwan itu tidak mungkin menolak, apapun yang
diperintahkan para pria tak dikenal ini haruslah dituruti. Dua polwan
tersebutpun terpaksa menari, tanpa pakaian penutup atas, sehingga buah
dada mereka yang bulat terlihat jelas. "Celana nya di lepas dong, gue
mau lihat memek kalian..." kata pria tersebut. Kedua polwan itu belum
menurutinya, mereka masih menari dengan mengenakan celana abu-abu gelap
mereka yang sedikit ketat. Merasa tak didengar, pria tersebut melepas
ikat pinggangnya, 'Plak' 'Plak' dibesutnya ikat pinggang terssebut ke
arah mereka. Dengan mata berlinang air mata, mereka pelan-pelan
menurunkan celana mereka. Waw, tak sabar aku pun ingin sekali melihat
kemaluan milik polwan. Tono pun masih tidak berkedip dengan apa yang ia
tonton, sifat hypersexnya memang sudah lama di-idapnya.
Setelah
melorotkan celana mereka, celana dalam berwarna pink mereka pun
pelan-pelan ditarik turun. "Sungguh indah..." kata pria tersebut melihat
kemaluan dua polwan yang segar itu. Vagina mereka tanpa bulu, mungkin
selalu dicukur mereka agar terlihat lebih bersih. "Sini, hisap
kontolku!" perintah pria itu. Dua polwan yang sudah telanjang bulat itu
pun maju dan berlutut di depan pria itu. "Ga usah rebutan, sini gue mau
netek juga..." kata pria tersebut. Felicia kemudian bangkit dan
menyodorkan buah dadanya kepada pria itu, sedangkan Eka bertugas
mengulum penis pria tersebut. Payudara Felicia terus dikenyot dengan
kasar, hampir setengah jam pria itu dilayani dua gadis, ia pun merasa
bosan, "aku mau ngentot..." katanya. Mendengar kata itu, dua polwan
tersebut kaget. Mereka sepertinya tidak terima dan mengambil sebuah
tindakan. Pria tadi ditangkap Felicia dan Eka, "Lepaskan kami, atau pria
ini mati!" ancam Felicia yang tadi dengan cekatan menangkap pria di
depannya. Suasana menjadi hening seketika. Namun suara tertawa pun
memecahkan keheningan, "Hahaha, kalian pegang satu nyawa, sedangkan kami
pegang tiga nyawa..." kata salah satu pria yang mengawasi kami. "Mau
mereka mati?" tanya pria tersebut.
Aku
sedikit iba melihat semua ini, aku pun coba untuk menengahi, "Biar saya
jadi sandera saja, tapi lepaskan mereka..." pintaku. "Wah, mau jadi
pahlawan di malam buta begini?" kata pria tadi yang kemudian
mendekatiku. Ia terlihat marah sekali, dan langsung mendekatkan
belatinya di leherku. "Buka celanamu!" teriak pria itu. Spontan saja aku
kaget dan ingin melawan, tapi tubuhku didorong hingga tersungkur. "Biar
saja semuanya mati..." kata pria itu. Terpaksa aku pun membuka celanaku
hingga celana dalamku. "Dengar, kalau kalian tidak mau mendengar
perintah kami, maka peler orang ini akan saya potong!" ancamnya sambil
mengarahkan belatinya ke penisku yang sudah mengeras sedari tadi.
Jantungku berdetak dengan kencang, hampir pingsan aku dibuatnya ketika
mendengar penisku akan dipotong. Dua polwan yang melawan tadi pun
terdiam, pria-pria lain mendekati mereka dan memukuli mereka. Dua polwan
tersebut ditampar dan ditendang oleh beberapa pria. Sedangkan pria tadi
yang sempat ditangkap oleh dua polwan itu terlihat sangat marah. "Aku
tak akan mengasihani kalian lagi!" katanya. Kemudian ia bangkit dan
menuju ke arah kami, ia mendekati polwan yang berlutut bersama kami.
Polwan yang bernama Olivia tersebut kemudian dijambak rambutnya dan
ditarik kemudian dilemparkan ke arahku, hingga wajah sang polwan
tersebut tepat mengenai penisku. "Hisap!" perintah pria tersebut. Waw,
kejutan yang indah kataku dalam hati.
Aku
diposisikan keadaan yang sangat sulit, satu sisi aku sudah sangat
nafsu, di sisi lain aku kasihan melihat kemalangan yang menimpa para
polwan tersebut. Aku coba menghalangi, "Jangan..." kataku. Lalu pria
tadi yang mengancam akan memotong penisku kembali mengancam lagi, "Peler
lu mau gue potong ya?!" Aku pun hanya yerdiam ketakutan. Olivia
kemudian dengan berderai air mata mencoba mengulum penisku. Tono
terlihat tak terima, ia berteriak "Hentikan semua ini!" Aku yakin Tono
berpura-pura melawan karena ia iri dengan apa yang ku alami. Besar
dugaanku adalah bahwa Toni juga ingin diperlakukan seperti ini. "Dasar
kerempeng!" pria lain mendorong Tono hingga jatuh. Pria itu mendekatkan
belati ke arah Tono, "Lu mau coba jadi pahlawan juga??" tanya pria itu.
Tono pun kemudian terdiam. Di arah lain, ku lihat Eka dan Felicia sudah
dikerumuni lima pria bercadar, mereka bergantian menggauli dua polwan
itu.
Dua
pria lain masih mengawasi aku, Tono dan Olivia. Dari tadi penisku
dikulum oleh Olivia, badannya terlihat gemetar sekali, kulumannya pun
tidak begitu erat, ia mungkin belum pernah melakukan ini. "Hey lu! Bantu
polwan itu buka seragam!" perintah pria yang mengawasi kami kepada Tono
agar Tono membuka seragam Olivia. Tono tetap terdiam tak mau bergerak,
ja'im banget, padahal dia sangat terobsesi dengan adegan seperti ini.
"Oi, mau mati lu?!" ancam pria itu menunjukkan belatinya. Tono pun
kemudian menuju arah kami. Olivia menghentikan kulumannya karena sudah
ketakutan akan dibugili. Melihat begitu, dua pria yang mengawasi kami
terlihat marah, "Dasar tak berguna!" Mereka berdua kemudian menangkap
Olivia, tangan dan kaminya ditangkap mereka, "Hei kalian, cepat buka dan
kenyot susunya!" perintah dua pria itu kepada aku dan Tono. Dengan
perasaan serba tidak enak, aku dan Tono pun membuka seragamnya Olivia,
kancing bajunya satu persatu kulepas, sedangkan Tono melepas celana
panjang berwarna abu-abu gelap polwan itu. Bra putih sudah terlihat, aku
sudah tak sabar ingin melihat payudara polwan ini, bagian bawah kulihat
Tono juga sudah berhasil melepas celana Olivia hingga terlihat celana
dalam berwarna merah muda yang penuh dengan gambar bunga. "Cepat! Atau
polwan ini kami bunuh!" ancam dua pria itu. Aku langsung gelagapan
karena kaget mendengar suara dengan nada keras pria tersebut. Bra Olivia
ku angkat ke atas hingga terlihat bukit kembarnya yang semakin
merangsang saya.
Kini
tubuh Olivia sudah bugil tanpa balutan sehelai benang pun. Dia berusaha
berontak untuk melawan. Aku tersejenak karena sedikit tidak tega
melihat Olivia yang tak berkutik dipegangi dua pria bercadar. Berbeda
dengan Tono, kulihat dia sudah menciumi selangkangan Olivia, sekitar
vaginanya sangat bersih tanpa bulu. Tapi bagaimana aku bisa mengenyot
susunya, toh dua pria bercadar yang memegangi Olivia berebutan menjamah
dan memeras susu Olivia yang bulat indah itu. Satu pria bercadar itu
menjambak rambut Olivia dan menyuruh aku mendekatkan penisku ke arah
Olivia. "Kalau lu uda nyaman, lu ga bakal belain mereka, liat kawan lu
tuh!..." kata pria itu. Olivia pun kemudian mengulum penisku, sungguh
sedap sekali. Olivia sudah tak berkutik, susunya kemudian dikenyot dua
pria bercadar, sedangkan vaginanya terus dijilati oleh Tono.
Penisku
terus dikulum Olivia yang memerah mukanya, ia hanya menutup matanya
walaupun terus menangis. Sedangkan dua temannya, Felicia dan Eka, sibuk
melayani lima pria bercadar lainnya yang memperkosa mereka secara
bergiliran. Dari arah sana kudengar suara memohon ampun, Eka dan Felicia
mungkin tak sanggup melayani lima orang pria yang kesetanan itu.
Setelah
selesai menyetubuhi Eka dan Felicia, lima pria itu tidak terlihat lelah
sama sekali, malah mendekat ke arah kami dan minta jatah Olivia. Aku
dan Tono pun disuruh minggir, karena takut disakiti, aku dan Tono pun
menyingkir. "Tuh, dua mainan sono, nikmati saja sebelum kalian kami
bunuh!" kata salah seorang pria yang mendekati kami, dia memerintahkan
kami menyetubuhi Felicia dan Eka. Kupandangi ke arah sana, Eka dan
Felicia sudah tidak bergerak, mereka sudah pingsan, dengan kaki yang
masih mengangkang terlihat jelas vagina mereka yang belepotan cairan
sperma. Aku tidak tega melihat begitu, namun Tono menarik tanganku untuk
mendekati dua polwan itu.
Tono
terlihat sangat nafsu sekali, ia langsung membuka semua pakaiannya dan
langsung memasukkan penisnya ke dalam lubang vagina Eka. "Tuh si Felicia
nganggur", katanya. Bodoh amat pikirku, toh polwan ini sudah tidak
sadarkan diri, aku pun kemudian meremas-remas susu Felicia yang
menggemaskan. Wajahnya yang cantik sangat menarik perhatianku, ingin
sekali kuciumi wajahnya, tapi aku sedikit geli dengan sperma yang
menempel di sekitar bibirnya, jadi ku urungkan niatku itu. Akhirnya
setelah puas meremas susu Felicia, aku pun mencoba memasukkan penisku ke
dalam vaginanya. Penisku yang dari tadi mengeras dengan kondisi
resleting yang terbuka, sudah tak sabar mencari labuhannya. Aku dan Tono
pun menggenjot dua polwan yang sudah pingsan tersebut.
Sambil
menggenjot Felicia yang tidak sadarkan diri, aku mendengar rintihan
minta ampun di kumpulan sana, kumpulan tujuh pria melawan satu gadis
perempuan. Olivia kelihatan terus disiksa, tujuh pria tersebut
bergiliran menikmati setiap lubangnya, dari mulut, vagina, hingga lubang
anusnya dimanfaatkan. "Saakkiiiii...ttt...tt....." rintihan terus
terdengar, rambutnya dijambak, pipinya ditampar, puting susu nya
digigit, sungguh malang sekali nasibnya, malah lebih malang dari nasib
kedua temannya ini. Hampir satu jam aku menyetubuhi tubuh Felicia yang
pingsan, dan aku pun menyemprotkan sperma hangatku di dalam vagina
Felicia, sungguh nikmat sekali, sampai aku tak mau mencabut penisku, dan
aku hanya beristirahat memeluk Felicia. Aku lihat Tono pun sudah
mencapai titik klimaknya, setelah menyembutkan spermanya, Tono pun
mencabut penisnya, tapi ia tidak terlihat lelah. "Man, minggir dong..."
pinta Tono, sepertinya dia ingin menikmati Felicia juga. Gila, pikirku,
Tono memang memiliki nafsu yang melebihi manusia normal, walau sudah
ber-ejakulasi berkali-kali, ia masih tak mau melepaskan kesempatan
seperti ini. Demi kepuasan teman, aku pun mengalah, aku menepi untuk
beristirahat sejenak. Ku lihat tujuh pria bercadar juga masih
bersemangat mengerjai Olivia, bahkan pria-pria itu berkata akan berpesta
dengan tiga polwan ini hingga pagi hari.
"Man...
Bangun man..." aku terlelap dan Tono membangunkanku, kulihat ke langit
sudah terang. Aku tidak tahu semalam para penjahat bercadar memperkosa
Felicia, Eka dan Olivia hingga berapa ronde, yang jelas aku melihat
arloji ku sudah menunjukkan pukul 06:12. Muka Tono sedikit memar,
sepertinya ia dipukuli para penjahat itu. Aku lihat Eka sibuk memakaikan
pakaian pada Olivia yang pingsan. "Polwan yang satu lagi mana?" tanyaku
pada Tono. "Dia ke mobil cari bantuan..." kata Tono yang megangi
pipinya yang lebam. "Woi! Bantu kita!" teriak Eka. Aku dan Tono pun
kemudian membantu Eka memapah Olivia agar keluar dari hutan ini. Sampai
di depan, aku lihat sudah ada mobil patroli yang lain di tepi jalan.
Beberapa polisi pria langsung mendekati kami dan mengendong Olivia.
Kami
pun masuk ke dalam mobil patroli dan segera dibawa ke kantor polisi.
Namun sebelum ke kantor polisi, kami dilarikan ke rumah sakit terdekat
untuk diperiksa. Aku dan Tono tidak mengalami luka yang serius, cuma
luka memar di pipi Tono yang diberi sedikit obat semacam salep.
Sedangkan para polwan mengalami luka serius, vagina mereka sobek karena
diobok-obok paksa oleh para penjahat itu. Olivia pun terpaksa harus
rawat inap karena dia masih pingsan. Aku dan Tono beserta polwan lain
pun dibawa ke kantor polisi setelah dirawat beberapa jam. Kami disuruh
membuat laporan dan menjadi saksi atas kejadian tersebut. Aku tidak tahu
apa yang terjadi setelah aku tertidur, namun Tono menjelaskan bahwa dia
dipukuli para penjahat itu saat ia memohon agar tidak membunuh kami
semua.
Namun
hingga sekarang ke tujuh pria bercadar tersebut belum diketahui
identitasnya. Polisi yakin bahwa mereka adalah residivis yang memiliki
dendam dengan para polwan itu. Karena tidak ada bukti yang lebih akurat,
polisi tidak meneruskan penyelidikan. Selain penjahat itu bercadar,
mereka pun menggunakan sarung tangan, tidak ada sisa jejak mereka
kecuali sperma-sperma kering yang melekat di tubuh para polwan.