Cerita Dewasa: Bimbingan Birahi Dengan Dosen baru
Cerita Dewasa: Bimbingan Birahi Dengan Dosen baru | Cerita dewasa
- “Laptop, bahan materi, HP, dompet, rokok,,, OK clear!!” begitu kataku
sambil merapikan isi ransel dan beranjak menuju garasi. Sampai di
garasi, aku baru ingat kalau salah satu ban mobilku kempes sejak 3 hari
yang lalu. Dan akhirnya, aku memutuskan pergi dengan motor meskipun
sepertinya akan turun hujan.
Malam ini aku ada janji dengan dosen pembimbing TA ku.
Aku
adalah seorang mahasiswa angkatan tua. Sudah 7 tahun aku kuliah
sampai-sampai dosen pembimbing TA ku diganti karena harus melanjutkan
study keluar negeri. Sisi baiknya, sang dosen pengganti adalah seorang
wanita cantik yang mungkin usianya hanya terpaut 2-3 tahun dari umurku.
Maklum lah, aku sendiri sudah berumur 25 tahun saat ini.
Bu
Chintya, begitulah kami biasa memanggilnya. Seorang wanita muda yang
tak hanya cerdas dan penuh kharisma namun juga cantik dan modis. Beliau
resmi mengajar di fakultas kami baru 1 semester. Tapi dengan berjuta
keanggunan itu, tak heran jika beliau langsung dikenal & dikagumi
oleh seluruh penghuni kampus.
Minggu
ini, Bu Chintya cuti sakit. kabarnya gejala thypus yang disertai maag.
Suatu berita yang sangat buruk bagi kelas yang diajarnya, karena selama
beliau cuti, tentu saja anak-anak tidak bisa bertatap muka dengan bu
dosen yang katanya menjadi semangat belajar mahasiswa.
Tapi
hal ini lain bagi mahasiswa TA bimbingan Bu Chintya. Kemarin pagi Bu
Chintya mengirimkan e-mail yang mempersilahkan seluruh mahasiswa
bimbingannya mengirimkan pekerjaan masing-masing via e-mail, kemudian
beliau menjadwalkan kami untuk bimbingan di rumahnya selama beliau cuti.
Sungguh seorang dosen yang sempurna. Cantik, cerdas dan penuh
integritas.
***
“blok
C3 nomer 21”, begitu aku membaca kembali sms yang berisi alamat Bu
Chintya. Tak terasa aku telah sampai di perumahan Griya Pesona, dan
tinggal 1 blok lagi aku telah sampai di kediaman beliau.
“sebelah
kiri jalan, gerbang merah maroon”, kataku dalam hati sambil memarkirkan
motorku didepannya. Rumah itu tidak terlihat megah, tapi terlihat
sangat rapi. Kombinasi warna lampu tamannya terlihat sangat menarik
dimataku.
Dan seolah tidak ingin membuang-buang waktu lagi, aku bergegas memencet bel dibalik gerbangnya.
“selamat
malam” begitu sambut sosok pemilik rumah yang sudah kukenal baik itu.
Dan tak lama kemudian, kami sudah duduk berhadapan di ruang tamu yang
ukurannya juga tidak terlalu luas.
Malam
itu Bu Chintya mengenakan atasan tanpa lengan berwarna hitam, dengan
bawahan celana ketat berwarna abu-abu. Sungguh padu padan yang pas
sekali, terlihat sexy tetapi tidak menyirnakan keanggunannya. Sangat
cantik.
“kamu tadi tidak kehujanan kan?” tanyanya membuka pembicaraan.
“tidak Bu. Ibu sudah sehat?” kataku basa-basi
“ah, saya sebenarnya juga tidak merasa sakit kok” jawabnya sambil tersenyum dan menyalakan netbook-nya.
“Dhimas Perdana, HC04XXXXX, betul kan?” katanya sambil membuka file pekerjaanku, dan aku pun mengangguk meng-iya-kan.
“nah,
saya harus mengatakan kepadamu bahwa kamu selalu mengulang kesalahan
yang sama. Sekarang kamu baca hasil pekerjaanmu dan silahkan bertanya
kalau ada yang belum paham” katanya sambil memutar netbook berisi draft
TA yang penuh coretan-coretan highlight itu kearahku
“seperti
yang sudah saya katakan kemarin, sebaiknya tulisanmu jangan
bertele-tele. Gunakan sumber materi yang valid dan jangan menuliskan
pendapatmu sendiri kedalam dasar teori. Kalau kamu ingin mengutip,
blablabla…”
Begitulah Bu Chintya
menelanjangi hasil kerjaku seolah semua yang kukerjakan penuh kesalahan.
Sekilas aku melirik wajah cantik yang penuh ekspresi itu, dan memang
semua yang dikatakanya tidak salah.
“maaf
Bu, kalau mengenai paragraf ini, kira-kira yang salah bagian mana?”
kataku sedikit memotong pembicaraannya sambil menghadapkan netbook itu
kearahnya
“nah, kalau yang ini
mengenai penggunaan kalimatnya. Kalimat ini mengandung makna yang sama
persis dengan bagian ini,” begitu katanya sambil menyorot beberapa
kalimat dibawahnya
“maaf bu,
boleh saya duduk disitu, soalnya dari sini kurang jelas” begitu sahutku
sambil menunjuk bangku panjang yang diduduki Bu Chintya
“ya silahkan” katanya sambil menggeser posisi duduknya.
Dan akhirnya malam itu kulewati dengan duduk bersanding Bu Chintya sambil mendengarkan ceramahnya.
Malam
minggu, hujan gerimis mulai turun, dan duduk bersanding Bu Chintya.
“What a perfect weekend” begitu kataku dalam hati. Dan tentu saja
kalimat-kalimat yang terdengar dari bibir tipis itu tidak sepenuhnya
lagi kusimak. Aku lebih memperhatikan gerak bibirnya dari belakang
sambil menikmati kecantikannya parasnya.
“ada pertanyaan lagi?” katanya mengakhiri penjelasannya
“ehm, tidak bu” jawabku cepat
“kamu
ini sebenarnya sudah paham, tapi kurang serius saja menulisnya. Tolong
yang serius yak,, kasihan penelitianmu. Kabarnya TA ini sudah 4 semester
tidak kamu kerjakan ya?”
“hehe,, kan yang 1 tahun cuti Bu.. jawabku sekenanya”
“apa
bedanya??? Ya pokoknya saya harap semester ini kamu selesaikan. Kalau
tidak, silahkan cari pembimbing lain saja” kata Bu Chintya dengan nada
tegas.
“ngomong-ngomong kamu mau minum apa? Saya buatkan kopi sambil nunggu hujan reda ya?” kata Bu Chintya sambil beranjak berdiri
“What a super perfect weekend!! Sekarang malah acara ngopi bersama Bu Chintya ” begitu kataku dalam hati dengan polos.
Dan
satu hal lagi kusadari ketika Bu Chintya beranjak menuju dapur. Tampak
jelas ketika beliau lewat didepan mataku, celana abu-abunya mencetak
jelas belahan pantatnya.
“masa’
Bu Chintya gak pake CD yak??” begitu kira-kira pikiran jorokku tiba-tiba
muncul dan segera kutepis jauh-jauh. Beliau termasuk dosen yang
kuhormati, so, sepertinya tidak pantas kalau aku berpikiran yang
aneh-aneh seperti itu
***
“Ngomong-ngomong,
kamu asli mana dim?”.. tiba-tiba Bu Chintya sudah muncul lagi
membuyarkan lamunanku. “Katanya kamu buka usaha konveksi ya?” lanjutnya
sambil meletakkan cangkir kopi didepanku
“Iya bu. Usaha clothing kecil-kecilan. Saya asli Surabaya Bu. Kalau Ibu asli mana?” kataku menanggapi.
“Saya
kecil di Medan, tapi sudah pindah sini sejak kuliah S1 dulu. Katanya
usaha clothing kamu sudah kirim kemana-mana ya??? memang mahasiswa kalau
sudah kenal duit biasanya jadi susah lulus.” sahutnya sambil tertawa
kecil.
Dan akhirnya malam itu
kami lewati dengan pembicaraan-pembicaraan ringan tentang bisnis yang
sedang kujalankan, tentang hobby kami, tentang keluargaku, tentang
keluarga Bu Chintya, dll.
Ternyata
Bu Chintya adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakak
laki-lakinya sudah berumah tangga. Ayahnya adalah orang Medan, seorang
pejabat militer dan ibunya seorang keturunan Belanda. Kedua orang tua Bu
Chintya bercerai sejak beliau duduk di SMU, oleh karena itu, Bu Chintya
memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah ini, sejak beliau lulus SMU
dulu.
“Ngomong-ngomong,
hujannya tambah deras dim, kamu tunggu disini dulu saja sampai reda.
Saya mau masuk dulu sebentar” kata Bu Chintya sambil menengok kearah jam
yang tergantung disudut ruangan
“eh,
sudah malam Bu. Sudah setengah 10. Mending saya nekat saja, daripada
nanti tambah malam. Kayanya hujanya juga ndak bakal berhenti” begitu
jawabku sambil melihat memasukkan laptopku
“ya kalau hujanya ndak berhenti kamu nginep disini saja ndak pa pa” sahut Bu Chintya sambil tersenyum menirukan gaya bicaraku
“ya kalau saya nginep nanti bisa dimasa tetangga Bu” begitu sahutku dengan nada bercanda
“siapa yang mau ngeroyok kamu?” sahut Bu Chintya cepat.
“Saya
tidak bercanda kok dim. Kamu bisa disini dulu kalau kamu mau. Daripada
kamu hujan badai nekat”. begitu sahut Bu Chintya. Jawabanya singkat,
tapi cukup menegaskan bahwa dia tidak bercanda.
“bagaimana?
Kalau mau nekat hujan-hujan tidak apa-apa. Saya tidak bisa melarang
kamu, tapi kalau mau nunggu hujan dulu juga tidak apa-apa.
“eh, saya nunggu hujan dulu saja bu” jawabku sambil tetap merapikan laptopku.
“OK,
saya masuk dulu ya. Soalnya disini banyak angin. Nanti kalau hujannya
belum reda silahkan istirahat disini, anggap saja rumah sendiri. Jangan
lupa motormu dimasukkan” begitu kata Bu Chintya sambil tersenyum
“iya Bu”, begitu jawabku singkat.
***
Aku
sendiri tidak habis pikir. Bagaimana bisa seorang Bu Chintya menawarkan
aku untuk tidur disini. Biarpun aku tidur diteras sekalipun, apakah
layak seorang mahasiswa sepertiku tidur dirumah seorang dosennya? Apakah
ini suatu jebakan? Jangan-jangan ada konspirasi atau rencana khusus
dari pihak kampus, atau apapun itu. Begitulah pikiranku muluk-muluk, dan
ternyata hujan tak kunjung reda.
Sementara
hujan angin semakin deras, akupun memutuskan memasukkan motorku dan
menutup pintu depan. Bukan karena aku memutuskan untuk menginap, tapi
angin diluar tambah kencang dan air hujan tertiup masuk ke ruang tamu.
“Nanti kalau reda baru balik deh” begitu kataku dalam hati
Setelah
menutup pintu, aku bergegas masuk kedalam mencari Bu Chintya, bukan
pula karena aku ingin tidur dirumahnya, melainkan aku ingin ke toilet
mencuci kaki sambil buang air kecil
Ternyata
Bu Chintya berada didalam kamarnya. Aku mendengar suara beliau menonton
TV sambil tertawa kecil. Dan aku pun bergegas mendekat dan mengetuk
pintu kamarnya yang memang terbuka.
“Eh dimas, gimana? Jadi mau nginep? Masuk dim” sahut beliau sambil tetap menyimak TV-nya.
Tubuhnya
terbaring diatas spring bed yang cukup lebar, sementara selimut tebal
yang tampaknya sangat hangat menutup hingga bahunya.
“eh tidak Bu, saya mau ke toilet” begitu jawabku
“ya
silahkan” sahutnya cepat. “pakai yang didalam saja ya, soalnya yang
diluar tidak ada sabunnya. saklarnya ada disamping pintu” lanjutnya
sambil menunjuk ke salah satu sudut kamarnya
Dengan
sedikit canggung, akhirnya aku masuk dan pipis di kamar mandi di kamar
Bu Chintya. Padahal tadi aku mau buang air di toilet belakang.
Tidak
enak kan kalau masuk rumah sampai ke belakang tanpa bilang. Rasanya
agak rikuh juga buang air di kamar mandi Bu Chintya, apalagi yang punya
kamar sudah berbaring nyaman ditempat tidurnya.
“pintu
depan sudah ditutup?” begitu tanyanya begitu aku keluar dari kamar
mandi, sambil tetap menyimak tayangan TV yang tergantung disisi kanan
kamar
“ehm, sudah Bu” begitu jawabku canggung
“ya sudah, itu acaranya bagus lho. Kalau kamu perhatikan bisa jadi masukan buat TA-mu” katanya sambil membesarkan volume TV
“ini
tentang budaya Jepang jaman PD 2, ini bisa jadi referensi blablabla..”
begitu lanjutnya menerangkan. Aku sendiri hanya bisa melihat tayangan TV
itu dari depan pintu kamar mandi, dan bingung harus bagaimana.
Mati gaya banget lah
“Heh,
mau sampe kapan berdiri disitu?” Bu Chintya segera berseru dengan
tanggap. Sepertinya beliau tahu kalau aku berdiri disitu dengan
canggung.
“ngapain bengong disitu??”, lanjutnya sambil menggeser posisi tidurnya.
Dengan
bahasa tubuh seperti itu, aku menangkap bahwa beliau menginginkan aku
beranjak ke tempat tidurnya. Atau setidaknya, duduk disitu lah.
Dan,
dengan sedikit salah tingkah aku pun mendekat dan duduk diseberang
tempat Bu Chintya berbaring. Tepatnya dibelakang Bu Chintya yang sedang
asyik memperhatikan TV nya.
Sesaat
kami pun terdiam. Aku benar-benar merasa canggung berada disini. Aku
juga tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, aku benar-benar
merasa aneh dan mati gaya. Aku berada dikamar Bu Chintya, seorang dosen
yang menjadi idola di kampus, atau mungkin idola di universitas!!!
ckckck
“nih bantalmu” begitu kata
Bu Chintya sambil mengulurkan sebuah bantal kepangkuanku. Tampaknya
beliau tahu bagaimana aku merasa aneh dan tidak tahu harus bagaimana.
Dan
dengan bantal yang yang diulurkan padaku itu, aku malah tambah bingung
harus bagaimana. Aku tambah salah tingkah dan tetap diam
“kurang
besar apa dim? atau kamu mau pakai bantal saya saja?” katanya sambil
tertawa ringan dan menggeser bantal panjang berwarna putih yang menopang
wajah cantiknya.
“eh” aku tambah
bingung dengan kalimat terakhirnya, dan aku masih tak bisa menyahut
apa-apa, sekalipun aku tahu maksud beliau adalah mempersilahkan aku
tiduran disitu
“ehm, maksud Ibu, saya tidur disini?” kataku terbata. Seolah aku bingung mau menyahut apa
“apa kamu mau tidur di garasi? Sepertinya kasur saya masih sisa banyak kalau cuma kamu tiduri” sahutnya sambil tersenyum
Dan sekali lagi aku sangat tidak percaya dengan kata-katanya.
Aku
tidak percaya dengan telingaku sendiri. Namun aku tetap mengerti apa
yang dimaksud dan segera berbaring sambil tetap menyaksikan tayangan TV
yang tergantung didepan Bu Chintya.
Sesaat
kemudian, nampak acara TV yang kusaksikan dengan canggung itu hampir
selesai, dan tiba-tiba suara Bu Chintya kembali memecah kecanggunganku
“lampu besar saya matikan saja ya dim, saya tidak bisa tidur kalau
terlalu terang”
Dan tanpa banyak
berkata lagi, beliau langsung beranjak turun dari tempat tidur, dan aku
benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Dibalik
selimut itu, Bu Chintya masih mengenakan atasan berwarna hitam yang
tadi dikenakannya, tetapi ternyata beliau tidak lagi mengenakan celana
abu-abunya.
Sebagai gantinya,
seutas tali G string hitam terselip diantara belahan pantatnya. Terlihat
jelas pantat yang halus dengan paha yang mulus itu bergerak menuju
pintu kamar, dimana saklar lampu berada.
OMG!!! I can’t believe what i’ve see.
Setelah
mematikan lampu, Bu Chintya berjalan kearah tempatku berbaring, dan
melewatiku yang ternganga dan sibuk mengalihkan pandangan.
Beliau berjalan menuju kekamar mandi yang terletak tepat dibelakangku, tepatnya diatas kepalaku.
Tampaknya beliau menggosok gigi, beliau sedang bersiap-siap untuk tidur.
Bu Chintya hanya dengan G-string hitam menutupi bagian bawahnya, oh My God, I cant realized what I’ve see.
Dan
G-string itu menjawab misteri belahan pantat yang terlihat jelas
dibalik celana abu-abu tadi. Ternyata Bu Chintya tadi mengenakan
G-String didalamnya.
Dan apakah
aku bermimpi saat ini? Aku tidak tahu, aku tidak mau tahu. Dan dengan
cepat aku menyusupkan kakiku dibalik selimut. Andaikan ini mimpi,
sungguh aku berharap aku tidak terbangun dari tidurku.
“Sebenarnya
saya tidak suka celana jeans diatas tempat tidur dim” tiba-tiba Bu
Chintya sudah berdiri lagi disamping tempatku berbaring, tepatnya
disamping kepalaku.
Tapi karena
sudah terlanjur ya tidak apa-apa” begitu lanjutnya sambil berjalan
mengelilingi tempat tidur, dan kembali menyusupkan kedua kaki jenjangnya
kedalam selimut dan berbaring sambil memindah chanel televisi. Beliau
tampak beberapa kali memindah saluran, tapi sepertinya tidak ada yang
menarik baginya.
Kini dia
berbaring membelakangiku, menghadap sisi dimana televisi LCD 32” itu
digantungkan. Dan dengan segenap jiwa, aku mencoba memberanikan diri
membuka pembicaraan. Aku anggap saat ini sebagai sebuah mimpi, so, its
free to me to speak up!!!
“ehm,
Ibu suka John Lennon?” begitu kalimat pembuka yang otomatis kuucapkan
ketika melihat Bu Chintya berhenti memencet-mencet remotenya pada salah
satu channel music
“yakk, i love The Beatles, dan tolong berhenti memanggil saya Ibu” begitu ujarnya tegas
“kalau nggak boleh panggil Ibu, terus saya harus panggil gimana ni bu?”
“ya
terserah kamu mau panggil gimana. Yang pasti disini kan bukan dikampus,
kalau kamu panggil aku Ibu, kok kesannya aku ini sudah tua banget.
Padahal, bisa jadi kamu lebih tua dari aku lho” begitu jawabnya bercanda
“ya, nggak lah bu, saya ini kan masih mahasiswa, young teenager yang masih energik dan bersemangat”
“whatever
you say. Yang pasti aku kuliah S1 tahun 2001, so, paling kamu 3-4 tahun
lebih muda. Itu juga kalau kamu SMUnya lancar.”
“eh, saya SMUnya malah cuma 2 tahun bu”, jawabku berkelakar
“jangan panggil aku Ibu,,, thats the point.” ujarnya kemudian
“you can call me chintya, atau teman-teman dekatku biasa memanggil cinta”
“eh,
begitu ya cin,,” sahutku bergumam “canggung ah kalau panggil seperti
itu, gimana kalau “kak” atau “mbak” atau gimana lah,, saya canggung bu,
eh, mbak..”
“kenapa nggak
manggil tante saja!! biar puas sekalian. Kamu ini bikin aku merasa tua
saja” jawab Bu Chintya ketus sambil tetap tertawa ringan
“OK deh mbak, saya panggil cinta... Ngomong-ngomong, kalau saya disini, nggak ada yang marah apa mbak,, eh, cin?”
“maksudmu,
kamu bertanya apa aku tidak punya pacar,, begitu?” ujarnya sambil
berbalik menghadap kearahku. Sorot matanya terlihat serius dan menatap
tajam mataku
“eh, ya bukan begitu mbak,,, eh, ya tapi mungkin bisa begitu maksudnya, atau,,,”
aku jadi salah tingkah sendiri dengan pertanyaanku. Tampaknya aku juga salah bertanya
“dimas,
sepertinya kamu harus banyak belajar tentang wanita. Masa’ kamu
bertanya seperti itu kepada perawan tua seperti saya?” lanjutnya sambil
tetap menatap mataku
“eh, bukan begitu maksud saya mbak,, eh,, saya cuma….”
“nggak
apa-apa kok, aku cuma merasa familiar dengan pertanyaanmu barusan.
pertanyaanmu itu seperti pertanyaan papaku saja”: “kapan kamu nikah
cin?? Ngga mungkin lah gadis cantiknya papa gak laku-laku??” sambungnya
lagi dengan nada serius
“eh” aku
benar-benar tambah salah tingkah dengan ucapan beliau. Aku tidak bisa
berkata apa-apa, dan memang sepertinya aku salah bertanya. Sorot matanya
yang tajam itu seolah melucuti mentalku yang tiba-tiba hancur runtuh.
Dia benar-benar menelanjangi mataku dengan wajah cantiknya yang sangat
dekat dihadapanku, sangat-sangat dekat. Mungkin hanya berjarak 5cm dari
hidungku. Dan aku benar-benar merasa terpojok dengan ucapannya
Namun
tiba-tiba dia tersenyum dengan senyuman yang sangat teduh dan
menenangkan. Raut mukanya tiba-tiba berubah seolah mengatakan: “aku
hanya bercanda, aku tidak marah kok”. Dan kami saling bertatapan sangat
dalam.
Sungguh aku terpesona
dengan kecantikannya. Kecantikan khas seorang Indo yang menurutku tidak
mungkin ditandingi oleh siapapun juga.
Dan
ditengah kekagumanku akan wajah menawan itu, tanpa berkata apa-apa,
tiba-tiba dia memajukan kepalanya, dan dengan cekatan dia memagut
bibirku. Aku benar-benar kaget dan tidak menyangka hal ini terjadi.
Jantungku berdegup sangat kencang, darahku seakan mengalir sangat deras
kearah kepala.
Aku menyadari
bahwa aku sedang bercumbu dengan idola dari segala idola. Aku dapat
merasakan dengan jelas aroma nafasnya yang wangi, bibir basahnya yang
menghisap pelan bibirku, dan lidahnya yang mulai bermain dirongga
mulutku.
Semakin lama, bibir
kami terpaut semakin dalam, hingga tak sadar tanganku telah memeluk erat
tengkuknya, dan kami tidak lagi berbaring berdampingan, melainkan aku
telah berada diatasnya.
Perlahan
aku memberanikan diri untuk menggeser cumbuan bibirku, aku memberanikan
diri mencumbu bagian leher hingga belakang telinganya, dan tampaknya
dia sangat menikmatinya. Sungguh aku tak percaya dengan apa yang
kulakukan. Sesaat aku menghisap daun telinganya perlahan, dan aku bisa
membaui dengan jelas aroma wangi yang selama ini hanya terasa samar.
Sungguh seorang wanita yang cantik dan spesial.
“dim,
boleh kubuka ini?” kata Chintya tiba-tiba sambil menyingkap kaos
hitamku. Aku tidak menyahut dan menjawabnya dengan membuka kaos yang
kukenakan.
Dan tak lama
kemudian, Chintya sudah asik memainkan dadaku dengan lidahnya yang
hangat. Aku sungguh merasa melambung tinggi dengan permainan lidahnya,
dan aku sengaja bergeser dan berbaring hingga Chintya lebih bebas
mengexplore tubuhku.
Dan tanpa
dipersilahkan, Bu Chintya sudah telungkup menindih perutku. Mulutnya
yang lembut tak henti-hentinya menjilat wilayah dadaku, dia terus
melakukan ritual tersebut hingga lidahnya kembali menuju bibirku, dan
sekali lagi kedua bibir itu berciuman erat. Dia kembali mencumbu erat
bibirku, dan melanjutkan kecupanya hingga wilayah leher dan telingaku.
Tanganku pun dengan sigap memeluk erat pinggulnya sambil mencumbu bagian
bawah lehernya.
“boleh
tangan saya masuk Cin?” tanyaku sambil tetap menikmati permainan
lidahnya. Kali ini jemariku sudah mulai berani menyusup melalui bagian
bawah kaosnya dan meraba bagian punggungnya. Dapat kurasakan punggung
yang halus itu bersinggungan dengan jariku
Chintya pun menghentikan usapan lembut lidahnya di bagian belakang telingaku, dan berbisik pelan: “mau masuk kemana memangnya?”
“eh,,
mau masuk kesini, eh, mbak”, kataku gugup, sambil menghentikan jemariku
yang tengah meraba bagian perutnya yang rata dan terawat.
Dan,
Chintya pun tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya tersenyum cantik
sambil menggenggam bagian bawah kaosnya, kemudian menyingkapnya keatas
dengan cekatan.
Yah, dia membuka penutup atas tubuhnya itu yang ternyata sudah tidak dilapisi bra didalamnya.
Dan
mataku kembali terbelalak ketika atasan itu tersingkap melewati bagian
dadanya. Sebuah pemandangan yang terindah yang pernah kulihat. Sepasang
gumpalan daging tersembul dibalik kaos itu, sangat halus dan lembut.
Saking halusnya, dapat kulihat alur urat yang tersembunyi tipis dibalik
kulitnya.
Sungguh payudara terindah yang pernah kulihat.
Ukurannya
tidak terlalu besar, mungkin sekitar 34an, tetapi ukurannya sangat
proporsional dengan tubuhnya, ditambah lagi dengan putingnya yang mungil
berwarna coklat kemerahan menghiasi ujung-ujungnya. Sangat-sangat
sempurna, im really speechless
Saking kagumnya dengan payudara itu, aku tidak menyadari tangan nakalku sudah meraba lembut bagian bawah gumpalan daging itu,
“eh,, boleh saya...”
“sure..” katanya memotong kalimatku sambil kembali telungkup dan melumat bibirku.
Mendapat perlakuan seperti itu, aku pun tak mau kalah.
Seolah
telah mendapat ijin, akupun melayangkan serangan-serangan yang lebih
berani. Kedua tanganku segera meremas lembut payudara indah itu, dan
permainan Chintya pun semakin mengganas.
Dia
tampaknya tidak memberikan kesempatan bagiku untuk memegang kendali.
Bibir mungilnya semakin agresif, dia menorehkan cupang merah tipis
didadaku, hingga menjelajahi perut bawahku sambil menyibak selimut yang
masih sedikit menaunginya.
Sangat-sangat liar, bahkan aku tidak kesampaian merasakan puting merah itu dengan bibirku.
Sambil
bibir mungilnya terus beraksi, dia menarik turun resliting celanaku,
“no jeans in my bed” begitu bisiknya ditelingaku sambil tersenyum
menggoda.
Dan aku hanya bisa
pasrah ketika ternyata Chintya tidak hanya berniat melucuti celana
jeansku. Dia mencengkeram jeans berikut celana dalamku, menariknya turun
dengan cekatan, dan melepaskanya dari kakiku hingga aku benar-benar
dibuat bugil dihadapnya.
Sekali lagi aku merasa bahwa aku sedang bermimpi, aku sedang bugil dihadapan idola kami semua.
Sungguh
aku tidak percaya, Chintya sedang mencumbu perut bagian bawahku, dengan
pangkal pahaku yang terbuka lebar tanpa seuntai benang pun menutupinya.
Sungguh terasa bagaikan mimpi, imajinasiku melayang jauh dan aku tidak
pernah merasakan moment seindah ini, seorang wanita yang kupuja, sedang
bermain-main dipangkal pahaku.
Dan sekali lagi Chintya menunjukkan keajaiban lidahnya, kali ini serangannya diarahkan pada bagian bawah perutku.
Yak,
dia mencoba membunuhku dengan jilatan-jilatan maut dibawah sana. Dan
tak lama kemudian, tangan kanannya memegang erat batang yang sudah
berdiri tegak disana. Dan sambil menatap mataku dia mengecup bagian
kepalanya, dan segera memasukkan batang itu kedalam mulutnya. Sungguh
sekali lagi aku merasa terbang ke awan.
Tidak
seperti lumatan-lumatan yang pernah kurasa, lidah Bu Chintya
benar-benar ajaib, dia benar-benar mampu memainkannya dibawah sana, just
like a french kiss in my junior.
Begitupun
dia tidak perhenti disitu, setelah puas menghisap bagian batang, Bu
Chintya menggeser mulutnya kebawah, dan inilah pertama kali aku
merasakan sensasi rangsangan di bagian paling bawah sana. Chintya
melumat habis pangkal bola-bolaku, dan melanjutkannya dengan mencumbu
area sun hole-ku dengan liarnya.
Dan
tampaknya dia begitu menikmatinya. Dia melakukannya sambil terus
memainkan bola-bolaku, sungguh suatu sensasi yang luar biasa.
Sejenak,
ingin rasanya aku membobolkan saja pertahananku dan mengaku kalah.
Bibir Bu Chintya adalah bibir paling gila yang pernah kuhadapi. Namun
aku masih bisa berpikir sehat. Aku segera menarik bagian pangkal pahaku
itu dari cengkeramannya, dan segera memagut bibir ajaib itu dengan
bibirku.
Dengan cepat pula,
kubaringkan Chintya karena kali ini aku ingin menguasai permainan. Aku
pun segera berganti menunjukkan potensiku. Kembali kurangsang bagian
leher Bu Chintya, kujilat perlahan, hingga turun sampai bagian payudara.
Bagian yang sangat kunanti dari tadi. Kubenamkan mukaku diantara kedua
payudara itu, sungguh payudara yang paling lembut yang pernah
kurasakan.
Tanganku pun tak mau
kalah, kuremas payudara kanan dengan tangan kanan, sambil lidahku mulai
bermain dengan puting kirinya. Bagaikan buah cherry yang sangat manis,
aku mengulum lembut puting itu, sungguh rasanya sangat menggairahkan.
Ini adalah puting paling sempurna yang pernah dirasakan bibirku.
Merasa
sudah menguasai keadaan, aku mulai memainkan ritme permainan. Sesaat
kuhisap puting itu lebih dalam, sambil meremas payudara kanannya.
Demikian aku bergantian bermain dengan kedua gumpalan menakjubkan itu.
Sesaat aku mencoba menyentuh lembut lingkaran penyangga puting itu
dengan telunjukku, sesaat pula dapat kurasakan puting itu mulai mengeras
kencang disertai munculnya bulu-bulu halus yang berdiri diatas kedua
bukit indah itu.
Sungguh
sepasang payudara yang sangat cantik, sangat indah dengan bintik2 bulu
roma yang menghiasinya, aku jadi semakin bergairah melihatnya, dan
akupun tak mau menyia-nyikan moment ini.
Permainan
bibirku mulai menjamah bagian perutnya yang rata. Sambil tangan kiriku
tetap mencengkeram satu dari dua bukit indah itu, tangan kananku menekan
bagian punggungnya perlahan. Tampaknya Bu Chintya benar-benar menikmati
permainanku, dan akupun memberanikan diri mengexplore bagian bawah
perutnya dengan lidahku. Yah, aku mengecup lembut belly buttonnya dan
mencoba bermain sedikit lebih kebawah sana.
Menanggapi
perlakuanku, Bu Chintya tidak terlalu terlihat keberatan. Dia malah
terlihat sangat menikmati dan sedikit membuka pangkal pahanya. Bahasa
tubuhnya seolah memberiku ijin untuk beranjak ke bagian itu. Segera aku
kembali menurunkan kepalaku. Kali ini aku mencumbu bagian dalam pahanya,
tanganku pun sekarang sudah memegang erat kedua pinggulnya, dan
akhirnya aku mulai berani mencium bagian segitiga G-string yang menutupi
surganya.
Sungguh suatu
pengalaman yang tidak pernah akan kulupakan. Aku sedang menghirup bagian
paling intim milik Bu Chintya, aku merasakan sensasi yang paling
dahsyat yang pernah kurasakan selama ini.
Gairahku
semakin menggebu, dan akhirnya kuberanikan diri menyusupkan lidahku ke
sela-sela bagian bawah segitiga cinta itu. Tangan kanan ku mencoba
menyibak kain hitam itu, dan bibirku mulai mengecupnya perlahan, rasanya
sungguh indah, agak terasa asin, tetapi aromanya sangat lembut.
Sungguh-sungguh indah.
Bu
Chintya yang tampaknya sudah sangat pasrah itu akhirnya menyangga
kepalaku dengan tangan kanannya. Tanpa berkata apa-apa, dia meraih tali
pengait segitiga itu dengan tangan kirinya, dan dengan perlahan dia
menurunkan G-String itu dengan tangan kirinya. Aku yang sedang dimabuk
gairah pun segera tanggap, kubantu dia menurunkan segitiga bertali itu,
dan melepaskannya dari kakinya yang jenjang.
Dan
dengan segera, seperti seorang anak kecil yang sedang dijamu dengan
dengan sekotak permen lezat, aku pun segera kembali dengan daerah
segitiga yang menakjubkan itu.
Kini
tubuh wanita pujaan itu telah benar-benar telanjang. Aku benar-benar
takjub dengan keindahannya, lekuknya yang sempurna dibalut dengan kulit
yang putih, tipis dan lembut. Ahh,, ternyata Bu Chintya yang kami puja
selama ini tidak hanya pintar dan cantik, beliau sangat sempurna
seutuhnya, sangat terawat.
Bagian
pangkal paha itu terihat sebagai bagian segitiga yang ditumbuhi dengan
bulu-bulu lembut. Tampaknya Chintya sangat rajin mencukurnya. Pun
begitu, tepat pada bagian bawahnya, terdapat sekatup bibir mungil
berwarna merah muda. Pintu surga itu terlihat begitu rapi, hanya
terlihat sebagai segaris lubang yang berwarna kemerahan.
Tanpa
diberi aba-aba, aku pun segera kembali menjamu segitiga cinta itu. Kali
ini aku merasa sangat bebas, tidak ada lagi sehelai benang pun yang
jadi penghalang. Aku mulai mengecup pelan bibir cantik dibawah bulu-bulu
tipis itu, dan tampaknya Chintya sangat-sangat menikmatinya, dan akupun
menikmatinya.
Samar-samar mulai
kurasakan aroma wangi yang sempurna, aroma yang mungkin dapat
mengalahkan nikmatnya rasa sabu yang dulu sering kuhisap jaman SMU.
Perlahan tapi pasti, aku memagut bagian itu dengan bibirku, lalu kembali
kuhisap perlahan. Dengan sedikit keberanian, tanganku pun mulai turut
meraba bagian itu. Kucoba membuka tangkupan dua bibir itu dengan
jemariku, dan kulihat jelas liang berwarna merah muda yang begitu indah.
Tampaknya sangat hangat dan nyaman didalam sana. Dan kembali aku
memberanikan diri mengeksplore lubang itu dengan lidahku.
Kali
ini, kucoba memasukkan lidahku kedalamanya dengan bantuan kedua
tanganku yang menyingkap pintu cinta itu. Kali ini, aku benar-benar
merasakan aroma yang sangat memabukkan itu, sangat membangkitkan
gairahku. Dan dengan segera, aku memainkan lidahku didalam sana,
menghisap perlahan, kemudian menghisap kuat, demikian aku mencoba
mencari ritme yang tepat dalam menangani bibir terindah ini.
Aku
mencoba memainkan lidahku dengan maksimal disini, sambil tangan kananku
merangsang bagian klitoris Bu Chintya. Dan tampaknya dia sangat-sangat
menikmatinya.
Setelah
sesaat bermain dengan ritmeku, aku mencoba mengubah pola serangan. Kali
ini, bibirku menghisap lembut bagian klitorisnya. Disini lidahku pun
turut bermain, kuhisap sambil sesekali menekan bagian itu dengan
lidahku.
Perlahan tapi pasti,
aku kemudian memberanikan diri memasukkan telunjuk kananku yang dari
tadi sudah memegang erat kulit berwarna kemerahan itu. Dan, ketika
seluruh telunjukku tercelup didalamnya, Chintya tiba-tiba mencengkeram
kepalaku dengan tangan kanannyanya yang sedari tadi menyangga kepalaku.
Sejenak aku tiba-tiba tersadar, kali ini aku memasuki daerah privatnya tanpa mohon ijin terlebih dulu.
Aku
sedikit terkejut dan kembali gugup, secara reflek aku segera menarik
keluar jariku dari lubang itu, tetapi dengan segera pula Bu Chintya
memegang tanganku dengan tangan kirinya.
Yak,
dia mengijinkan jemariku bermain didalamnya, dan tanpa berkata apa-apa,
dia membimbing jari nakal ini masuk kedalam miliknya yang sangat
berharga itu.
Sungguh aku dapat
melihat raut wajah cantik itu yang kini sedang dibara gairah, aku
melihat dia sangat menikmati permainanku, dan dengan sigap pula, aku
merangsang kembali daerah klitorisnya dengan bibirku, sembari jemariku
mencari-cari daerah G-spotnya didalam sana.
Tidak
butuh waktu lama untuk mendapatkan area paling sensitif itu. Tak lama
jariku bermain disana, Chintya semakin membuka lebar pangkal pahanya.
Dia kini tidak hanya mendesah dan menatapku nakal. Bu Chintya sudah
tidak malu-malu lagi untuk mengerang. Kaki jenjangnya sedikit ditarik
keatas, dia sedikit melipat lututnya, suatu tanda bahwa dia sungguh
terbuai dalam permainan jemariku.
Pun
demikian, aku pun semakin bergairah, aku semakin cepat menggerakkan
jariku didalam sana, kutekan kuat pagian G-Spotnya sambil lidahku terus
memainkan klitorisnya, jemari dan lidahku kini sudah masuk gigi 5. Aku
semakin cepat dan liar bermain dengan lubang cinta itu.
Namun
tiba-tiba Chintya mengapit erat kepalaku dengan lututnya. Dia menjepit
kuat kepalaku sambil tangan kanannya menekannya kedalam. Dan segera
setelahnya, aku bisa merasakan tubuh itu terguncang, aku bisa merasakan,
tubuhnya sedikit kejang, dan,, aku kembali kaget dibuatnya, seiring
dengan teriakan yang keras, tiba-tiba dia menggelinjang hebat, jemariku
merasakan ada kedutan hebat didalam sana,,, dan tidak putih bening
kemukaku.
Yess, dia sudah sampai... and she squirt in my face!!
dan
aku tidak bisa mengelak sama sekali, secara reflek aku meronta mencoba
melepaskan kepalaku, tetapi cengkeraman pahanya terlampau kuat, dan
sampai saat ini pula, paha lembut itu masih mencengkeram kuat kepalaku.
Aku
hampir tidak percaya dengan apa yang kualami, Bu Chintya mencapai
puncak dan menyemprot mukaku dengan cairan cintanya memabukkan.
Aku
sangat terkejut, tetapi sebenarnya aku sangat menikmatinya. Pun begitu
Bu Chintya yang sudah terkulai lemas, aku bisa melihat tubuhnya yang
masih sedikit gemetar, wajahnya sangat-sangat erotis, sepertinya dia
baru saja mengalami orgasme paling dahsyat yang pernah dirasakannya.
***Aku kemudian beranjak ke sudut ruangan berinisiatif mengambil beberapa lembar tissue, dan mengelap mukaku yang agak lengket,
“kamu baik2 saja kan cin?” tanyaku sambil berbaring lagi disisinya
“eh,,
maaf ya dim, aku sendiri tidak terpikir kalau bakal sampai kaya gitu”
tangannya dengan reflek menarik lembar tissue yang kupegang dan segera
me-lap bagian pipiku yang ternyata masih sedikit basah.
“tidak apa-apa kok, aku juga menikmatinya”
“serius,,
ini pertama kalinya sampai seperti itu, aku benar-benar tidak menyangka
sampai seperti itu” jawab Chintya sambil memeluk aku erat.
Dan
akhirnya, malam itu kami melanjutkan sesi bimbingan TA dengan bercerita
panjang lebar tentang keseharian kami, tentang keluarga kami, tentang
kesibukan-kesibukan kami.
Maklum, pada dasarnya aku dan Bu Chintya masih belum terlalu mengenal satu sama lain.
“jadi, sekarang mamamu masih tinggal di Jakarta bersama suaminya yang baru itu?” tanyaku menanggapi cerita Chintya.
“begitulah” jawabnya pelan.
“ooh,, beliau punya anak lagikah?”
“nggak sih,, cuma ada suatu hal yang dulu bikin aku nggak nyaman tinggal disana”
“kenapa??”
“well, si om bule itu hypersex.”
“heh?? maniak gitu??”
“yupss. dan aku pernah tinggal bersama mereka selama 2tahun”
“haha..
yang kamu ceritakan waktu kamu SMU itu ya? Trus, apa hubungan antara
hypersex dengan ketidaknyamananmu tinggal bersama mereka? Toh si om bule
itu kan papa-mu, bukan suamimu?”
“yahh,,
masalahnya bukan cuma hypersex doang dim. dia juga orang naturist.
Kalau dirumah mamaku sana, begitu masuk gerbang udah wajib bugil. Itu
berlaku buat semua orang yang tinggal disitu.”
“whatsss??? jadi kamu juga ikut2an nudis gitu??”
“nggak cuma saya honeyy, disana dari sopir nyampe tukang kebon juga bugil semua.”
“begitukah?? are u serious??”
Aku
seperti tidak tahu harus menjawab apa lagi. Tampaknya Chintya memang
memiliki pengalaman yang luar biasa dalam hidupnya. Dia banyak bercerita
tentang masa lalunya, dan tiba-tiba aku merasakan empati yang sangat
dalam, sebuah perasaan seolah tidak terasa lagi ada jarak antara kami.
Seolah seperti sepasang kekasih/sahabat yang sedang berbaring dan sharing berdua
“uhm,,
kembali ke masalahmu tadi Cin, emang kalo menurutmu kamu trauma dengan
masa lalumu, lalu apa dampaknya di masa sekarang?” aku kembali bertanya
mencoba mengenal dosenku itu lebih dekat.
“well,
kita bahas topik ini lain kali lagi saja ya dim, kamu belum dapet kan?”
katanya sambil kembali memelukku mesra. Tampaknya dia belum ingin
membahas sampai sejauh itu, dan akupun harus menghormatinya
“kalau aku sih, asal kamu senang sudah bisa dibilang dapet kok cin. gue ikhlas” jawabku cengengesan
“Dasar mulut buaya!! sekarang kamu sudah berani merayu saya…” sahutnya tersipu sambil mencubit lenganku keras-keras
“Ehmn,
Dim, kamu percaya sama aku kan?” lanjut Chintya sambil meraih laci
disamping tempat tidur. Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk kecil
“okeey,,
tangan kamu diikat dulu yaa,,” katanya sambil mengeluarkan seutas kain
panjang dan mengikat kedua tanganku ke bagian atas tempat tidur. Aku
mulai berpikir aneh-aneh, sejenak aku ingin menolak apa yang dilakukan
Bu Chintya padaku. Tapi, aku penasaran juga dengan rencananya, so, ikuti
saja deh,, hehe
“aku mau diapain hon?”
“diem
ah,, trust me honey” jawabnya sambil kembali mengecup bibirku. Aku
sendiri tidak bisa banyak bergerak dengan kedua tangan yang terikat erat
diatas kepala, sedangkan tampaknya bibir maut itu akan kembali
mengeksekusi titik-titik lemahku.
Perlahan,
Chintya menggeser kembali kecupannya kearah leherku, sedikit cupang
panjang disana, dan kemudian turun kearah dada. Bagian ini tampaknya
bagian yang paling disukainya, lidahnya yang lembut bermain dengan
putingku, sambil kedua tangannya mimijit-mijit bagian samping dadaku. Di
babak pertama ini aku sudah mulai bisa merasakan sensasi Chintya.
Sebuah teknik-teknik yang baru kutemui dalam bercinta, diselimuti oleh
paras yang sungguh-sungguh menggoda.
Perlahan,
dia kembali menggeser posisi bibirnya, kali ini kecupan-kecupan itu
diarahkan kebagian samping dadaku, dan, dia bermain dengan ketiakku. Aku
meronta keras, kukatakan padanya bahwa ini keterlaluan, “Geli banget
Cin, kamu menyiksaku”,, begitu ujarku. Tapi tampaknya Chintya tidak
peduli dan terus melancarkan aksinya.
Dan
ternyata teknik yang satu ini juga sangat mengerikan. Rasa geli yang
perlahan berubah menjadi sebuah rangsangan yang mahadahsyat. Seiring
dengan rabaan-rabaan tangannya yang sedikit memijit, Chintya benar-benar
bak seorang sex machine yang istimewa.
Selama beberapa saat Chintya menyiksaku, tampaknya dia sudah cukup puas dan berniat memulai permainannya di bagian bawah.
“Sudah panas kan?” katanya sambil sambil tersenyum kecil dan memegang batangku yang sudah berdiri keras.
Dan tanpa banyak bicara lagi, dimasukkannya batang itu kedalam mulutnya.
Yah,
Chintya segera mengulumnya dengan bersemangat, dan dia langsung
memainkan ritme permainan oral terdahsyat yang pernah kurasakan.
Sesekali setelah lidah hangatnya bermain lincah, dihisapnya batangku
kuat-kuat, seolah dia ingin menyedot habis seluruh isinya.
Sambil terus bermain-main dengannya, tangan Chintya meraih dua bantal disisi kiri tempat tidur,
“diganjal
bantal ya dim” katanya sambil menyusupkan dua bantal itu dibawah
pantatku. Aku yang sudah merasa keenakan pun pasrah saja, kuangkat
pantatku sesuai dengan apa yang diingininya, dan kini, posisiku agak
berasa tidak nyaman, punggung dan pantatku terganjal oleh bantal yang
tampaknya cukup tinggi. Aku agak heran sebenarnya apa rencana Chintya,
tapi kembali lagi, aku pasrah saja.
Chintya
kemudian mengambil posisi tepat dbawah selakangku, dan kemudian kembali
dia memasukan batangku ke bibir mungilnya, tangan kirinya memegang
testikelnya dan tangan kanannya memegang pangkal batangku. Aku tidak
bisa melihat terlalu jelas apa yang terjadi disana, tapi aku kembali
merasakan sensasi yang luar biasa.
Sejenak
setelahnya, aku merasakan kepala penisku bersentuhan dengan bidang yang
sangat hangat dan licin, saat itu pula kurasakan sensasi yang luar
biasa diujung kemaluanku, sembari kudengar Chintya sedikit batuk-batuk
dan mengeluarkan penisku dari mulutnya.
Dan,,
ternyata dia melakukan deep throat. Bu dosen satu ini memang gila, dan
ini adalah pengalaman deep throat pertamaku. Dan malam ini Chintya
memberiku deep throat tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Sensasi rasanya benar-benar gila, sepertinya aku hampir ejakulasi dibuatnya.
Sesi
oral pun berakhir, saat ini Chintya kembali memeluk aku. Tubuhnya yang
gemulai bergelayut mesra diatasku “sekarang menu utama yuk,,” begitu
bisiknya memanja ditelingaku…
Sambil
tangan kirinya tetap memeluk leherku, Chintya meraih kembali senjataku
dan mengarahkannya kebagian pangkal pahanya yang memang sudah berada
tepat diatasnya.
Yah, Chintya
memasukkan kepala batangku kedalam lubang yang berhias bulu lembut itu,
dan tak lama kemudian dengan sedikit menindihku, seluruh batangku telah
bersemayam didalam lubang hangatnya.
1001
rasa penasaran yang selama ini berkecamuk hilang sudah. Kini aku telah
merasakan hangat dan nikmatnya liang itu. Sangat hangat dan rapat,
bahkan jika batang kesayanganku itu bisa membauinya, kukira dia pun akan
terkesima dengan aroma wanginya.
Chintya
pun memagut bibirku sambil sedikit menggoyangkan pinggulnya, tidak naik
turun tetapi memutar perlahan. Wew, bahkan teknik goyanganya pun
dahsyat, tidak banyak bergerak, tapi dapat kurasakan batangku dipijit
dengan sempurna.
Dan perlahan
kusadari, sepertinya pijitan ini tidak hanya bermuara pada goyangan
pinggul semata, tetapi tampaknya dinding-dinding kemaluan Chintya turut
berperan. Lubang ini menggigit rapat dan dapat kurasakan sedikit
berdenyut teratur, ini juga baru kali ini kurasakan.
Hal
ini kusadari ketika Chintya beranjak dan menjamuku dengan posisi duduk.
Dengan senjataku yang masih tertancap disana, kurasakan pijitan-pijitan
lembut itu walau Chintya tidak banyak menggerakan pinggulnya.
Dan,
aku tidak menyangka bahwa menit-menit kedepan adalah waktu yang tidak
akan pernah kulupakan seumur hidupku. Mungkin bila aku bisa memutar
balik waktu, aku akan selalu memutar menit-menit itu sambil mengaktifkan
fitur slow motion.
Dengan posisinya yang mendudukiku, Chintya kembali menggoyangkan pinggulnya.
Kali
ini tidak memutar maupun maju mundur, melainkan naik turun. Tubuhnya
yang semampai itu seakan menduduki bantalan trampoline. Sekilas aku
merasa miris dengan perlakuannya. Dengan sedikit berjongkok, Chintya
menarik pangkal pahanya keatas hingga tiga perempat batang penisku
keluar dari sarangnya, dan dengan cekatan pula dia menimpanya kembali.
Yah, dia mengocok batangku dengan kencang dengan posisi pinggulnya yang
naik-turun tajam itu.
Jujur, aku
sedikit takut kalau-kalau dia sedikit meleset dan mematahkan senjataku
yang sangat berharga itu. Tapi, kekhawatiran itu segera sirna terhapus
sensasi yang kembali kurasakan.
Chintya
memperlakukan senjata yang benar-benar berdiri keras itu seperti
mainan, seperti dildo stainless yang tak punya jaringan syaraf, dan kali
ini aku benar-benar ingin menyerah dan memuntahkan cairan cintaku, aku
tak kuasa mengimbangi wanita cantik yang tiba-tiba menjadi sangat liar
ini. Dapat kulihat jelas ekspresi mukanya saat ini, dia tidak hanya
sekedar mencoba memuaskanku, dia kembali turn on, dan aku wajib
mengimbanginya.
Tapi semakin aku
melihat wajah cantiknya, semakin ingin rasanya aku mengakhiri permainan
ini. Whatever, aku memang tidak mampu melayaninya.
Tapi tiba-tiba, Chintya mengakhiri gerakan naik turun yang dahsyat itu.
Dia merebahkan tubuhnya, memeluk aku erat, sambil tetap mengocok kencang batangku dengan goyangan pinggulnya super cepat itu.
Dan
tentu saja pada akhirnya aku segera tewas dan mengakhiri pertahananku.
Aku benar-benar tidak tahan dengan perlakuannya, dan kali ini aku
benar-benar tak bisa berkutik dan harus menyerah kalah
Chintya
tengah memelukku erat sambil sambil mengggoyangkan pinggulnya
maju-mundur dengan cepat saat batangku mulai kejang-kejang.
Pinggul indah itu bergerak dengan kerasnya seolah penisku hanya mainan tak bernyawa.
Dan
seiring dengan dengan senjataku yang mulai muntah dan mengaku kalah,
ritme goyangan Chintya perlahan-lahan mulai melambat, dan dapat
kurasakan kembali cengeraman pahanya yang mulai bergetar, seiring dengan
kedutan ringan yang memijit lembut kemaluanku yang masih tertanam
didalamnya. Dan perlahan-lahan, lubang menakjubkan itu mencengkeram
penisku sangat erat. Ternyata, Chintya pun mendapatkan orgasme untuk
yang kedua kalinya…
Yah, liang hangat itu seakan menyedot batangku dengan kerasnya seiring dengan bobolnya pertahananku.
Dan
kembali aku menangkap ekspresi muka cantik Chintya yang seolah
mengatakan bahwa dia baru saja mendapatkan orgasme yang hebat.
Selama
beberapa saat tubuh indah itu bergetar lemah diatas tubuhku, dan tak
lama kemudian sosok cantik itu benar-benar lemas tak berdaya.
Perlahan-lahan, Chintya menggeser tubuhnya sambil melepaskan liang terindahnya dari kemaluanku dengan hati-hati.
Tanpa
berkata apa-apa, dia membaringkan tubuh indahnya disampingku, dan tak
lama kemudian, idola dari segala idola itu sudah terbaring lelap
disisiku
Dan
aku kembali terdiam seakan tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi.
Aku hanya bisa termangu, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi
malam ini bukanlah mimpi.
Dalam
hatiku, terbentu sebuah perasaan yang tidak bisa didefinisikan. Ada
sebuah kepuasan yang tidak pernah tertandingi, bercampur rasa tidak
percaya yang masih menghantui.
Dan akhirnya aku hanya bisa terheran-heran sambil berusaha melepaskan tali yang masih mengikat erat tanganku.
Sungguh malam terdahsyat yang pernah kualami.